Kamis 14 Aug 2014 14:41 WIB

RI Butuh Tenaga Konstruksi Bersertifikat

Rep: EH Ismail/ Red: Muhammad Hafil
Konstruksi bangunan
Foto: Eric Ireng/Antara
Konstruksi bangunan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia membutuhkan banyak tenaga konstruksi bersertifikat sesuai bidang keahlian masing-masing. Minimalnya tenaga konstruksi bersertifikat akan menyulitkan Indonesia dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015.

Kepala Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi (Pusbin KPK) Kementerian Pekerjaan Umum Masrianto mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki banyak tenaga konstruksi yang ahli dan terampil.

“Masalahnya, hanya beberapa saja yang mengantongi sertifikat kompetensinya,” kata Masrianto dalam diskusi seputar pembinaan kompetensi dan pelatihan konstruksi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dia melanjutlkan, kontribusi sektor konstruksi pada pendapatan domestik bruto nasional tahun lalu mencapai Rp 907 triliun atau 10 persen dari PDB nasional. Nilai kapitalisasi sektor konstruksi pun naik dari Rp 300 triliun di 2012 menjadi Rp 390 triliun di 2013. “Tahun ini, nilai kapitalisasinya diprediksi akan mencapai Rp 450 tirliun,” kata Masrianto.

Dengan era MEA tahun depan, banyak kontraktor BUMN nasional yang berpeluang mendapatkan proyek-proyek infrastruktur di luar negeri. Pengerjaan proyek ini tentu membutuhkan banyak tenaga kerja. Menurut Masrianto, kebutuhan tenaga kerja konstruksi semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan tingkat pertumbuhan mencapai enam persen per tahun. Sayangnya, di Indonesia masih banyak tenaga kerja konstruksi yang belum terlatih. “Sampai saat ini, dari enam juta lebih tenaga kerja konstruksi, hanya 400 ribu saja yang sudah bersertifikat.”

Sebanyak 400 ribu tenaga kerja konstruksi yang telah bersertifikat tersebut terdiri dari 300 ribu tenaga terampil dan 100 ribu tenaga ahli. Ketimpangan komposisi SDM konstruksi yang bersertifikat dan yang tidak bersertifikat akan mengancam Indonesia di era pasar bebas Asean. Alasannya, para investor luar negeri terkenal sangat kaku dalam melakukan pengawasan dan pengendalian mutu bangunan. “Termasuk soal SDM, mereka enggan menggunakan SDM yang non-certified,” ujar Masrianto.

Sekretaris Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian PU Panani Kesai menambahkan, pemberlakuan AFTA 2010 dan MEA 2015 membawa konsekuensi masuknya tenaga kerja asing di bidang industri konstruksi. Minimnya SDM konstruksi nasional yang bersertifikat tentu membuat masuknya tenaga kerja asing menjadi hal yang cukup mengkhawatirkan.

“Karena nantinya proyek-proyek konstruksi hanya akan menggunakan SDM yang bersertifikat. Kalau proses sertifikasi tenaga konstruksi yang kita miliki tidak digenjot, maka kita bisa hanya menjadi penonton di negeri sendiri,” ujar Panani.

Karena itulah, Panani menyarankan, badan usaha konstruksi dan BUMN harus segera melakukan sertifikasi SDM konstruksi mereka apabila tidak ingin menyesal karena terlambat. Apalagi, MEA sudah berada di depan pintu. Ketidaksiapan badan usaha konstruksi dalam menyiapkan SDM bersertifikatnya justru akan mengancam kegiatan usaha mereka sendiri.

“Sertifikasi SDM tenaga konstruksi adalah investasi. Tanpa investasi SDM ini, siap-siap saja badan usaha tertinggal dan gigit jari di masa mendatang,” kata Panani.

Pengamat industri konstruksi nasional Ahmed Kurnia Soeriawidjaja menyatakan, sertifikasi SDM merupakan jaminan bahwa badan usaha siap menyongsong era kompetisi yang semakin ketat. Kendati secara umum Indonesia sudah banyak memiliki tenaga kerja konstruksi, namun tanpa legalitas kompetensi, mereka hanya akan dipandang sebagai tenaga kerja kasar dengan upah rendah.

“Jadi, sebenarnya sertifikasi ini penting juga untuk pekerja itu sendiri. Bukan semata hanya untuk badan usahanya,” kata Ahmed.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement