Ahad 10 Aug 2014 11:20 WIB

Giliran Petambak Udang Dipasena Resah

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Nidia Zuraya
Area tambak Udang Dipasena
Area tambak Udang Dipasena

REPUBLIKA.CO.ID, TULANGBAWANG -- Hamparan tambak udang di Bumi Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulangbawang, Provinsi Lampung, kembali muram. Petambak eks plasma PT Aruna Wijaya Sakti (AWS, anak perusahaan PT Central Proteina Prima/CPP), harus memikirkan mencari bahan bakar minyak (BBM) jenis solar, saat ini.

Setelah kejadian kisruh beberapa waktu lalu dengan pihak investor baru (AWS/CPP), petambak eks Dipasena Citra Darmaja (DCD) kembali bangkit, meski harus pontang panting mencari 'bapak angkat', agar dapat memutar kembali kincir air tambak udangnya. Tak lain, agar ribuan keluarga petambak bisa bertahan hidup.

Pembatasan penjualan solar bersubsidi di beberapa tempat di Indonesia, turut berdampak pada aktivitas rutin selama 24 jam kincir airnya. Kodri (40 tahun), pemilik tambak udang di Kampung Dipasena Makmur, hanya bisa mengerutkan dahinya. Ketika bangkit tambak udangnya, justru ia mendapat masalah baru dengan pembatasan penjualan solar.

Saat ini, ia memiliki dua mesin diesel berkapasitas daya besar, untuk menggerakkan roda empat kincir air di dua tambak. Tambak udang windunya, 24 jam haru berputar tanpa henti, agar pola dan siklus udara dan air tambak normal. Dalam sehari semalam, ia dapat menghabiskan 150 liter solar.

"Kalau solar dibatasi penjualannya, solar langka dan mahal, bukan tidak mungkin ke depan petambak udang akan mengalami kerugian besar," tutur bapak tiga ini kepada ROL, Sabtu (9/8).

Bumi Dipasena, yang dulu dikenal tambak udang terbesar di Asia Tenggara ketika dikelola PT DCD, milik Sjamsul Nursalim, tahun 1987 ke atas, hingga kini sebagian eks petambak PT DCD yang jumlah ribuan, justru masih bertahan hidup, mengelola tambaknya, meski harus memodali sendiri.

Satu kampung saja ada sekitar 400 sampai 700 petambak. Satu kampung ada dua blok, sedangkan di Bumi Dipasena terdapat 10 kampung. Jadi, sekitar 7.200-an petambak masih mengelola tambak udang peninggalan PT DCD dan AWS.

Sekarang memang belum terasa kesulitan solar, karena sudah sistem order sebelumnya, untuk beberapa waktu ke depan. Tapi ke depan bila pembatasan terus berlangsung, maka orderan solar kepada pihak ketiga akan tersendat, pasalnya biaya bengkak karena solar sulit didapat. "Apa ini petambak tidak 'ngamuk' lagi gara-gara tak ada solar," ujarnya.

Ibnu, pemilik tambak lainnya, juga berharap pemerintah memerhatikan nasib keluarga petambak, yang terus bertahan mencari hidup di hamparan tambak udang secara perseorang. "Sekarang ini kami menggunakan sistem bapak angkat, karena kami ingin bangkit kembali," tuturnya.

Sebagian petambak di Bumi Dipasena, mulai bangkit kembali mengelola tambak udangnya, yang selama ini seakan hidup segan mati tak mau, setelah ditinggalkan PT AWS beberapa waktu silam. Bapak angkat inilah yang memodali; petambak yang mengelola, dan produksinya bagi hasil.

Menurut dia, kalau terjadi pembatasan penjualan solar di berbagai tempat, ancaman tambak udang Dipasena akan kembali terganggu, bahkan menganggur. Pasalnya, mau tidak mau, kincir air tambak harus berputar selama 24 jam. Sekitar 7.000-an petambak udang windu, harus rela merugi ratusan juta rupiah, hanya gara-gara solar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement