REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Argentina mengalami default atau gagal bayar utang untuk kedua kalinya sejak 2001. Hal tersebut menyebabkan nilai tukar di negara-negara berkembang atau emerging market, termasuk Indonesia, mengalami pelemahan. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Senin (4/8) tercatat pada Rp 11.747 per dolar AS.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, pelemahan disebabkan adanya sedikit gejolak pada pasar keuangan. "Itu yang disebut risk off karena default Argentina," ujar Agus, Senin (4/8).
Gagal bayarnya negara tersebut menyebabkan pasar dunia menahan diri untuk berinvestasi di negara-negara berkembang. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengakui bahwa hal yang terjadi di Argentina tersebut merupakan sentimen negatif pada negara-negara berkembang.
Ia mengatakan, rupiah sempat melemah menjadi Rp 11.800 per dolar AS pada Jumat lalu karena Argentina. Namun saat itu volume pasar spot antarbank sangat kecil, yakni sebesar 44 juta dolar AS, karena sedang libur Lebaran. Dalam hari biasa, volume pasar normal untuk spot antar bank itu antara 800 juta hingga 1,5 miliar dolar AS per hari. "Jada kalau Jumat kemarin hanya 44 juta dolar AS dan rupiahnya melemah itu bukan gambaran yang normal," ujarnya.
Namun, menurut dia, investor-investor di negara berkembang dapat membedakan negara yang dapat menjaga rasio utang dan rasio defisit anggaran. "Indonesia tak pernah default. Kita tak lihat ada gejolak di surat utang pemerintah walaupun Argentina default karena investor sudah bisa membedakan," ujar Mirza.