REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha tambang menginginkan sengketa antara Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara tidak berlarut-larut.
Pasalnya, konflik ini dinilai bisa berdampak negatif terhadap citra investasi Indonesia ke depan.
“Kami sebenarnya lebih mengharapkan pemerintah dan Newmont bisa menemukan jalan tengah. Tapi kalau memang tidak ada jalan lagi selain membawa persoalan ini ke lembaga arbitrase internasional, ya apa boleh buat” kata Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI), Natsir Mansyur, kepada Republika, Jumat (25/7).
Menurut dia, permasalahan muncul lantaran Newmont tidak bisa mengekspor konsentrat hasil tambangnya karena belum diolah sesuai perintah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014. Padahal, untuk mengolah konsentrat tersebut dibutuhkan pabrik smelter yang biaya pembangunannya tidak sedikit.
“Tak hanya itu, waktu yang dihabiskan untuk mendirikan smelter itu juga tidak sebentar. Minimal empat tahun baru selesai,” ujarnya.
Karena itu, kata Natsir lagi, pemerintah semestinya bisa memberikan kelonggaran kepada perusahaan tambang. Yakni dengan tidak mengenakan pajak yang tinggi terhadap ekspor konsentrat mereka, hingga pabrik smelter rampung dibangun perusahaan.
Ia khawatir penerapan PP No 1 Tahun 2014 tanpa mempertimbangkan aspirasi dari perusahaan tambang bakal berdampak negatif terhadap citra Indonesia di mata dunia.
“Apalagi, investasi untuk smelter tambang ini mendapat suntikan dana besar dari perbankan luar negeri. Kalau persoalannya jadi berlarut-larut, citra presiden kita juga yang jadi kurang baik di mata internasional,” imbuhnya.
Natsir menambahkan, langkah PT Newmont yang membawa polemik ini ke lembaga arbitrase internasional patut diapresiasi.
“Bukan apa-apa, karena ini menyangkut kerugian yang bakal kita alami juga.”Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan kekecewaannya terhadap langkah PT Newmont Nusa Tenggara yang menggugat Indonesia ke International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) per 1 Juli lalu.
Presiden menilai tindakan perusahaan tersebut merusak keadilan bangsa Indonesia.Newmont menggugat Indonesia karena terkena regulasi yang mengharuskan perusahaan tambang melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di Indonesia sebelum mengekspornya ke luar negeri.
Aturan ini termaktub dalam PP No 1 Tahun 2014 yang merupakan amanat dari UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).