REPUBLIKA.CO.ID, Penggunaan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran di Indonesia adalah harga mati. Tidak ada mata uang lain yang sah digunakan sebagai alat bayar walaupun transaksi dilakukan di pulau terpencil dan perbatasan. Luput memperjuangkan rupiah di satu pulau, pulau tersebutlah taruhannya.
Kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan contohnya. Kedua pulau milik Indonesia itu dicaplok Malaysia karena salah satu alasannya adalah mata uang ringgit yang dipakai disana.
Mencegah berulangnya kasus tersebut, Bank Indonesia (BI) melakukan kas keliling untuk meyakinkan ketersediaan rupiah di daerah-daerah. Selain itu, untuk agenda tahunan, BI mengadakan Bhakti Kesejahteraan Rakyat (Bhakesra). Tim dari bank sentral, bekerja sama dengan TNI AL, menyusuri pulau-pulau terpencil dan melakukan penukaran uang, baik yang masih baik maupun sudah lusuh dan rusak.
"Kita mendukung eksistensi rupiah di pulau terpencil. Dulu Sipadan Ligitan hilang karena uang yang dipakai itu ringgit," ujar Ketua Tim Bhakesra BI Handi Wijaya.
Kepulauan Raja Ampat merupakan salah satu daerah yang ditunjuk untuk Bhakesra tahun ini. Tepatnya dilakukan di Waisai. Menggunakan Kapal Republik Indonesia (KRI) Banjarmasin 592, tim bertolak dari Makassar menuju Waisai melalui Sorong. KRI terlalu besar sehingga tidak bisa merapat di pelabuhan Waisai yang terbilang kecil. Tim terpaksa menggunakan kapal kecil dari kapal induk untuk mencapai pulau tersebut.
Rp 10 miliar merupakan modal awal yang dibawa BI dari Jakarta untuk penukaran uang di pulau terpencil tahun ini. TNI AL tak hanya membantu BI dalam mengantarkan uang ke tempat tujuan, tetapi juga menjaga keselamatan uang tersebut.
Rencana untuk penukaran uang di Waisai sebesar Rp 250 juta yang terdiri dari berbagai pecahan besar hingga kecil. "Asumsi modal itu dari permintaan. Kita survei ke pulau tersebut," ujar Handi.
Sebagai awalan, tim menawarkan penukaran uang pada warga. Kemudian sisanya ditawarkan pada bank.