Kamis 19 Jun 2014 23:00 WIB

Masalah Impor Diharap Tak Berlanjut ke WTO

Para aktivis berunjuk rasa memprotes pertemuan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Denpasar, Bali, Selasa (3/12).   (AP/ Firdia Lisnawati)
Para aktivis berunjuk rasa memprotes pertemuan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Denpasar, Bali, Selasa (3/12). (AP/ Firdia Lisnawati)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia mengharapkan dengan adanya klarifikasi pada sesi konsultasi terkait kebijakan impor Indonesia untuk hortikultura, produk hortikultura, hewan dan juga daging, tidak akan berlanjut pengajuan keberatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

"Ada 150 pertanyaan yang kita harus klarifikasi, kita bisa memberikan jawaban dan penjelasan soal kebijakan itu, mereka menerima dan diharapkan masalah ini tidak berlanjut ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO," kata Staf Khusus Menteri Perdagangan, Gusmardi Bustami, dalam jumpa pers di Kementerian Perdagangan, Kamis (19/6).

Gusmardi mengatakan, dalam sesi konsultasi yang juga merupakan proses klarifikasi tersebut, para delegasi menginginkan adanya penjelasan khususnya terkait dengan Undang-Undang 13/2010 tentang Hortikultura, UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU 18/1012 tentang Pangan, UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta meminta minta klarifikasi tentang UU 7/2014 tentang Perdagangan.

Gusmardi mengatakan, negara-negara yang menginisiasi sesi konsultasi terkait dengan ketentuan impor tersebut adalah Amerika Serikat dan Selandia Baru, sementara pihak ketiga adalah Taiwan, Australia, Kanada, Thailand dan Uni Eropa.

"Mereka ingin mendapatkan penjelasan mengenai prosedur dalam melakukan impor khsususnya untuk hortikultura dan produk hewan. Hal tersebut bukan merupakan restriksi melainkan kebijakan untuk mengetahui seberapa besar jumlah impor yang diinginkan oleh para importir," kata Gusmardi.

Menurut Gusmardi, Indonesia tidak melakukan pembatasan dalam bentuk kuantitas akan tetapi menerapkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk perizinan, dimana para importir harus mendapatkan rekomendasi jumlah besaran impor sebelum mendapatkan perizinan impor, yang harus direalisasikan minimal 80 persen dari rekomendasi yang dikeluarkan.

"Kita melakukan hal tersebut karena kita tahu bahwa pada produk-produk tertentu ada kekurangan, dan kita tidak mau importir yang memiliki izin tidak melakukan apa-apa karena akan membahayakan pasar dalam negeri," ujar Gusmardi.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement