Kamis 24 Apr 2014 14:08 WIB

Sistem Administrasi dan Koordinasi Sektor Perpajakan Buruk

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Mari Bayar Pajak
Foto: Ditjen Pajak
Mari Bayar Pajak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan masih banyaknya perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) mineral dan batu bara (minerba) yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Berdasarkan hasil kajian KPK, dari 3.826 IUP yang dimiliki 3.066 perusahaan, masih ada 725 perusahaan atau 23,6 persen yang tidak memiliki NPWP. 

Pengamat perpajakan Prastowo mengatakan hasil kajian lembaga antikorupsi itu memperlihatkan tertib administrasi yang tidak baik. Padahal dalam pendirian perusahaan, seharusnya sudah disertai NPWP badan. Selain itu, Prastowo menilai, hasil kajian KPK juga menunjukkan buruknya koordinasi antar instansi di pemerintah pusat maupun koordinasi antara instansi di pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. 

"Kewenangan otonomi daerah diartikan kewenangan mutlak.  Seolah-olah pihak lain tidak perlu dilibatkan," ujar Prastowo kepada ROL, Kamis (24/4). 

Sebagai solusi, Prastowo menyebut perlunya suatu sistem informasi terpadu yang menghubungkan antara para pengampu kebijakan di pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM dan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan) dengan pemerintah daerah (pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota).

Di dalam sistem itu, tercakup syarat formal yang harus dipenuhi perusahaan sebelum beraktivitas antara lain penilaian kelayakan dari Ditjen Minerba Kementerian ESDM, NPWP dari Ditjen Pajak Kementerian Keuangan dan IUP dari pemerintah kabupaten/kota. "Ketika di-submit secara online, dicek masing-masing apakah sesuai dengan fakta di lapangan. Ini langkah preventif," ujar Prastowo.

Langkah berikutnya, kata Prastowo, adalah audit terpadu dan berkala perlu dilakukan terhadap perusahaan. Misalnya dari sisi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Audit itu, menurut Prastowo, dapat dilakukan oleh satuan tugas khusus lintas pengampu kebijakan dari pemerintah pusat (Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan pemerintah daerah (pemerintah kabupaten/kota). "Nanti KPK tinggal supervisi."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement