REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sedikitnya 12,5 juta keluarga masih belum tersentuh listrik di Indonesia. Pembangunan PLTU Batang berkapasitas 2 X 1.000 Mega Watt (MW) sangat esensial untuk meningkatkan pasokan listrik.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman mengatakan, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan kapasitas baru sebesar 5.000 Mega Watt (MW) per tahun. ''Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi enam persen per tahun,'' kata dia kepada ROL, Rabu (16/4).
Jarman berkata, status akhir rasio elektrifikasi pada 2013 adalah 80,5 persen. Artinya, masih defisit sekitar 20 persen. Dia menerangkan, mundurnya penyelesaian PLTU Batang akan berakibat defisit cadangan listrik pada sistem kelistrikan di Pulau Jawa.
Jarman menegaskan, kendala utama pada proyek tersebut adalah pembebasan lahan. Pemerintah akan membantu membebaskan tanah sehingga pembangunannya segera bisa terealisasi.
PT Bimasena Power Indonesia sebagai perusahaan pembangun PLTU tersebut terkendala masalah lahan. Pembangunan PLTU itu kerja sama antara pemerintah dan swasta (PPP).
Kendala utama di sana, karena harga tanah dimainkan oleh para oknum. Tarif jual tanah yang tadinya Rp 10 ribu per meter persegi naik menjulang menjadi Rp 400 ribu. Pihak pengembang menginginkan hanya membayar Rp 100 ribu.