Ahad 30 Mar 2014 02:21 WIB

Reformasi Agraria Mutlak untuk Produksi Produk Pertanian

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Indira Rezkisari
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi (kiri) bersama Ketua Yayasan Coop Indonesia Adi Sasono (kanan) melihat hasil pertanian saat Pameran Agrinex Expo 2014 di JCC, Jakarta, Jumat (28/3).
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi (kiri) bersama Ketua Yayasan Coop Indonesia Adi Sasono (kanan) melihat hasil pertanian saat Pameran Agrinex Expo 2014 di JCC, Jakarta, Jumat (28/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Reformasi agraria mutlak dilakukan karena tanah merupakan unsur penting dalam produksi produk pertanian.  Terlebih, menurut Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria, luas tanah (dalam satuan meter persegi) per kapita di Indonesia relatif rendah dibanding negara-negara lain.  Dalam sebuah data yang dikutipnya, luas tanah per kapita Indonesia tercatat 820 meter persegi per kapita.

Luasan tersebut lebih rendah dibanding Vietnam 960 meter persegi per kapita, Cina 1.000 meter persegi per kapita, India 1.500 meter persegi per kapita dan Brazil 3.400 meter persegi per kapita.  "Mengapa pertanian di luar maju? Salah satunya karena penguasaan tanah per kapita yang luas," ujar Arif dalam talkshow bertajuk 'Reformasi Agraria dan Alih Fungsi Lahan' dalam rangkaian acara Agrinex Expo kedelapan di Jakarta Convention Centre, Sabtu (29/3). 

Turut menjadi pembicara adalah Staf Ahli Menteri Perumahan Rakyat Bidang Tata Ruang, Pertanahan dan Pemukiman Arief Setiabudi dan Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Budi Mulyanto.  Masih terkait dengan penguasaan tanah per kapita di sebuah negara, Arif menjelaskan, penelitian Bank Dunia menunjukkan pada 2025 mendatang, hanya dua kawasan yang tidak akan mengalami kekurangan produk pertanian, khususnya serelia.  Kedua kawasan itu adalah Eropa dan Amerika Utara.

Sementara Asia Selatan mengalami defisit 25 juta ton, sedangkan Asia Tenggara lebih besar yaitu 126 juta ton.  Menurut Arif, salah satu cara untuk keluar dari 'krisis' tersebut adalah peningkatan penguasaan tanah per kapita.  Selain itu, keterbatasan lahan pertanian yang menjadi tantangan lainnya akibat alih fungsi lahan sebenarnya dapat diatasi dengan pemanfaatan teknologi canggih tanpa bergantung kepada lahan. 

Misalnya menerapkan urban agriculture, vertical agriculture hingga roof garden.  "Ini menjadi tantangan ke depan.  Pertanian harus berkembang seperti itu," kata Arif.  Secara umum, Arif menyebut reformasi agraria lazim dilakukan di negara manapun. 

Bahkan sejak masa perang dunia kedua, pimpinan pasukan sekutu sekaligus Kepala Staf Angkatan Darat Amerika Serikat Jenderal Douglas Mac arthur telah menerapkan reformasi agraria di sejumlah negara asia yang dikuasai seperti Jepang, Taiwan maupun Korea Selatan.  "Reformasi agraria dilakukan dengan cara mendistribusi tanah yang dimiliki oleh para tuan tanah," kata Arif.  Khusus untuk Indonesia, presiden pertama RI Ir. Soekarno pun telah menggagasnya medio 1960.

"Akan tetapi gagal karena ketiadaan uang," ujar Arif.  Upaya reformasi agraria coba dihidupkan kembali pada masa pemerintahan presiden kedua RI Soeharto lewat program transmigrasi.  Masyarakat di Pulau Jawa 'dipindahkan' ke pulau-pulau lain di Tanah Air seperti Sumatera dan Kalimantan.  Namun, kata Arif, kesuksesan program transmigrasi teramat minim akibat kegagalan pola adaptasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement