REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menilai otoritas moneter (Bank Indonesia) dan otoritas fiskal (Kementerian Keuangan) telah mengantisipasi kebijakan lanjutan yang tengah disiapkan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve). Demikian disampaikan Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Bobby Hamzar Rafinus kepada ROL, Selasa (25/3).
"Saya kira kita sudah memperkirakan. Artinya, sudah dalam perhitungan BI dan Kementerian Keuangan bahwa nantinya penurunan volume (stimulus moneter) dan peningkatan suku bunga," kata Bobby. Pekan lalu, the Fed mengumumkan pemangkasan program stimulus moneternya sebesar 10 miliar dolar AS menjadi 55 miliar dolar AS setiap bulan. Sedangkan suku bunga atawa the Fed Rate diperkirakan meningkat menjadi 1,0 persen pada akhir 2015 dan 2,5 persen pada akhir 2016.
Bobby mengungkapkan antisipasi yang dilakukan oleh BI antara lain fasilitasi kerja sama transaksi repo dengan sejumlah bank negeri maupun swasta. Sementara antisipasi yang dilakukan oleh Kemenkeu antara lain melalui skema Bond Stabilization Framework (BSF) atau kerangka kerja jangka pendek dan menengah untuk mengantisipasi dampak krisis di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik.
Beberapa waktu lalu, Gubernur the Fed Janet Yellen mengungkapkan kerangka waktu untuk penaikan suku bunga dapat dilakukan sekitar enam bulan setelah berakhirnya stimulus pada akhir 2014. Bobby membenarkan kerangka waktu adalah masalah yang harus diantisipasi BI dan Kemenkeu. Terlebih, kebijakan the Fed tentu akan menyebabkan adanya tarikan modal kembali ke AS. "Artinya kita harus siap bahwa porsi asing dalam pasar modal kita kemungkinan berkurang," kata Bobby.
"Sehingga kita harus mendorong investor dalam negeri untuk mengisi gap itu. Karena itu, ada langkah-langkah financial deepening dari BI. Juga ada rencana insentif repatriasi dari Kemenkeu. Ini adalah bentuk-bentuk mitigasi risiko," ujar Bobby.