Kamis 20 Feb 2014 06:40 WIB

IMF Desak Upaya Pertumbuhan Lebih Kuat dari G20

Kepala IMF, Christine Lagrade
Foto: AP PHOTO
Kepala IMF, Christine Lagrade

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dana Moneter Internasional pada Rabu mendesak Kelompok 20 (G20) untuk meningkatkan pertumbuhan, memperingatkan risiko-risiko terhadap ekonomi global, dari deflasi di Eropa hingga gejolak yang tinggi di negara-negara berkembang.

IMF mengatakan negara-negara maju, yang meliputi sebagian besar G20, masih memimpin kenaikan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di seluruh dunia.

Tetapi pihaknya mengatakan pekerjaan lebih terkoordinasi diperlukan untuk mempertahankan pengembangan produksi dan meningkatkan permintaan, karena perekonomian dunia masih berupaya keras untuk meninggalkan krisis keuangan yang dimulai pada 2008.

"Pemulihan telah mengecewakan, dengan produksi (output) G20 masih di bawah tren jangka panjang," kata IMF dalam sebuah laporan menjelang pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Sydney mulai Sabtu (22/2).

"Aksi Bersama diperlukan untuk meningkatkan produksi dan menurunkan risiko global secara substansial melalui pertumbuhan yang lebih seimbang."

Meskipun gejolak keuangan meletus di negara-negara berkembang pada bulan lalu, IMF tetap memperkirakan ekonomi dunia berkembang 3,7 persen tahun ini, setelah melaju 3,0 persen pada 2013.

IMF mengatakan, pihaknya menganggap bahwa gejolak yang telah membingungkan kekuatan ekonomi negara-negara berkembang seperti Indonesia, Brazil dan Afrika Selatan itu akan berumur pendek.

Tetapi ia juga menyatakan itu tergantung pada reformasi lebih lanjut dalam ekonomi mereka serta lebih banyak pekerjaan untuk meningkatkan permintaan di negara-negara maju.

"Pemulihan masih lemah dan risiko penurunan yang signifikan tetap ada," Dana mengatakan, mengutip arus keluar modal, suku bunga yang lebih tinggi, dan depresiasi mata uang yang tajam di negara berkembang sebagai "perhatian utama".

Dikatakan bahwa kondisi keuangan ketat global, yang dipimpin pengurangan stimulus (tapering) oleh Federal Reserve AS, bisa melemahkan pertumbuhan lebih lanjut di sejumlah negara.

Selain itu, inflasi yang sangat rendah di Eropa telah mengkhawatirkan IMF tentang bagaimana sebuah kejutan tak terduga bagi perekonomian bisa mendorong wilayah tersebut ke dalam deflasi, membalikkan banyak kenaikan tahun lalu.

"Wilayah euro sedang berbelok dari resesi ke pemulihan lemah yang masih tidak merata dan rapuh," katanya.

Dikatakan bahwa negara maju perlu untuk mempertahankan kebijakan yang uang longgar untuk terus mendorong permintaan dan memungkinkan pemerintah meningkatkan neraca fiskal mereka.

Menghadapi kondisi moneter ketat, sementara negara-negara berkembang perlu melakukan lebih banyak pekerjaan pada kebijakan ekonomi mereka sendiri dan manajemen untuk membangun kredibilitas mereka dengan pasar.

IMF juga menambahkan, bahwa bank-bank sentral negara maju dalam proses menarik diri dari kebijakan moneter era krisis, seperti Fed dengan program stimulus besarnya, bisa mengkoordinasikan dan mengkomunikasikan tindakan mereka lebih baik untuk mengurangi efek kejutan pada seluruh dunia.

"Ada ruang untuk kerja sama yang lebih baik antara bank-bank sentral tentangh penarikan kembali program stimulus dan pengetatan suku bunga ultra-rendah, yang disebut kebijakan moneter tidak konvensional," kata IMF.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement