REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Meski peluang terbuka lebar, pelaku industri menghadapi berbagai tantangan untuk mengembangkan industri pariwisata muslim. Salah satunya adalah dari pemeringkatan yang berlaku global di industri perhotelan.
"Hotel yang tidak menyediakan alkohol tidak bisa mendapat bintang lima, tertinggi hanya bintang empat," kata Zulkifly Said, Dirjen Islamic Tourism Centre (ITC) Malaysia dalam Joint Seminar on Islamic Tourism (JoSIT), Selasa (18/2).
Untuk itulah, menurutnya diperlukan kerjasama berbagai pihak yang berkecimpung di industri ini. "Kita juga mesti mempertanyakan lagi standar pemeringkatan yang berlaku di industri perhotelan," ujarnya.
Sertifikasi halal yang dimiliki oleh hotel pun perlu diperjelas kriterianya. Pasalnya banyak hotel-hotel yang hanya memiliki sertifikat halal untuk bagian dapurnya saja. "Padahal untuk ruang makannya atau untuk membersihkan masih bercampur," ujarnya.
Agar lebih adil terhadap konsumen, lembaga pemberi sertifikat diminta lebih adil dalam menyebut hotel sebagai memiliki sertifikat halal. Besarnya potensi pasar wisata muslim juga tak ayal membuat negara-negara nonmuslim turut berlomba mengembangkannya. Sayangnya masih banyak pelaku industri di negara non muslim salah kaprah dengan standar halal bagi muslim.
Kepala Administrasi Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nur Wahid mencontohkan salah kaprah penggunaan istilah 'muslim food' dan 'halal food'. Di CIna misalnya ada yang menganggap 'muslim food' adalah makanan yang biasa dikonsumsi orang-orang yang memeluk Islam.
"Misalnya mereka menyediakan kari atau daging sapi, padahal daging yang mereka sediakan bukanlah daging halal," tuturnya. Mereka masih beranggapan daging sapi adalah makanan yang bisa dimakan oleh muslim, meskipun cara penyembelihannya tak jelas.
Terkait upaya negara non muslim meraih pasar wisatawan muslim, menurut Zulkifly, ini sesuatu yang tak dihindari. "Namun justru dampaknya baik, mereka bisa membuat segmen ini semakin dikenal secara global," ujar Zulkifly.
Tantangan lain yang dihadapi pelaku industri wisata muslim adalah standar halal yang berlaku secara global. Karena bisa jadi di antara satu negara muslim dan negara muslim lainnya memiliki standar yang berbeda.
Untuk menyamakan persepsi di antara pelaku industri diperlukan adanya kesamaan pemahaman. "Untuk memudahkan kesamaan persepsi kita lebih baik punya satu bahasa. Kalau bisa menyepakati dengan satu bahasa, kita gunakan bahasa atau istilah yang sama," kata Syamsul Lusa Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Namun di balik berbagai tantangan tersebut, peluang yang terbuka masih amat lebar. Dari segi jumlah ada 1,6 miliar penduduk
muslim di sleuruh dunia. Sedangkan di ASEAN, Cina dan India saja terdapat 240 juta warga muslim. Industri ini juga berkembang
dengan nilai transaksi sebesar 137 miliar dolar tahun lalu.