REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu mengirim surat kepada Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Dalam surat itu, meminta kepada Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk tidak menyetujui rencana akuisisi PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, oleh anak perusahaan Pertamina, PT Pertagas.
FSP BUMN menilai, ketahanan energi suatu negara tidak lepas dari tata kelola yang baik dari pemerintah sebagai regulator. Selain itu juga dibutuhkan peran perusahaaan-perusahaan milik negara atau BUMN di sektor energi.
Presidium Nasional Federasi SPF BUMN Bersatu FX Arief Poyuono mengatakan, rencana akuisisi PGN oleh PT. Pertagas merupakan kebijakan aneh. "Tidak ada untungnya dari sisi Pemerintah maupun BUMN, karena justru lebih banyak merugikan rakyat Indonesia dalam ketahanan energi nasional," katanya, Jumat, (17/1).
PGN, ujar Arief, merupakan perusahaan terbuka (listed) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Artinya, telah memiliki standar GCG, Manajemen Risiko dan Internal Controll System yang jauh lebih tinggi dibandingkan PT. Pertagas yang hanya anak perusahaan PT. (Persero) Pertamina.
"Pendapatan, laba bersih dan nilai aset serta rasio keuangan PGN secara umum jauh lebih besar, lebih tinggi dibandingkan PT. Pertagas, sehingga semua dunia usaha dan publik akan mentertawakan. Ada apa di balik rencana akuisisi PT PGN Tbk, oleh PT Pertagas," kata Arief.
Menurut Arief, bagaimana mungkin core business perusahaan BUMN terbuka dalam hal ini PGN akan diakuisi oleh noncore business yang dijalankan BUMN yang baru saja menjadi Perseroan (PT), dalam hal ini PT. Pertagas.
"PGN selama ini dikelola secara profesional dan transparan sehingga dapat memberikan sumbangan dividen 4,9 trilyun tahun 2013. Sedangkan Pertagas belum dikelola secara transparan dan professional," katanya.
Jika rencana akuisisi dilakukan, ujar Arief, sebagaimana tercantum dalam risalah Rapat PT Pertamina 7 Januari 2014, lalu disetujui Menteri BUMN, maka dampak kerugian kepada rakyat.
"Rencana akuisisi PGN oleh Pertagas, sama saja dengan melakukan akusisi saham PGN dan tentu saja ini akan mebutuhkan dana sangat besar, yang harus disediakan Pertamina. Sebab biaya delisting terhadap saham milik publik akan membutuh dana miliaran dolar AS, karena delisting saham suatu perusahaan publik," ujarnya.