Senin 13 Jan 2014 21:51 WIB

SILO Susun Tenaga Kerja Imbas Pelarangan Ekspor

Tambang Newmont di Nusa Tenggara Barat  (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Tambang Newmont di Nusa Tenggara Barat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KOTABARU -- Perusahaan tambang bijih besi PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, mulai menyusun kembali tenaga kerja inti tambang, imbas dari diberlakukannya Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

"Kami mulai "re schedule", terutama untuk tenaga kerja bongkar muat, karena tidak ada lagi pengapalan hasil tambang," kata Direktur Operasional PT SILO Henry Yulianto, kepada Antara, Senin.

Silo, lanjut Hanry, lebih mengutamakan tenaga kerja inti, khusus tenaga kerja tambang untuk tetap dipekerjakan.

Perusahaan belum memastikan langkah apa yang akan diputuskan khusus untuk tenaga kerja bongkar muat atau yang lainnya, apakah akan di rumahkan atau tetap dipekerjakan.

Ada kemungkinan, untuk tenaga kerja dari sub kontrak akan dilakukan pemutusan hubungan kerja terlebih dahulu, apabila sudah tidak ada lagi aktivitas pertambangan.

Hanry berharap, ada solusi yang diberikan pemerintah pusat, setelah diberlakukannya Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara per 12 Januari 2014.

Saat ini PT SILO dan perusahaan sub kontrak memperkerjakan sekitar 2.000 orang karyawan, sekitar 1.200 orang tenaga kerja PT SILO dan sekitar 700-800 orang tenaga kerja sub kontrak.

Menurut Manajer Operasional, sebenarnya PT SILO sudah tidak lagi serta merta mengekspor bijih besi murni hasil tambang.

Akan tetapi PT SILO sudah melakukan satu tahapan, di mana pemurnian tahap pertama tersebut sudah memisahkan sebagian unsur penyertanya dan menaikkan 10 persen hasil tambang.

"Apabila bijih besi dari mulut tambang kadarnya 40 persen-45 persen, setelah dilakukan tahap pertama sudah naik 10 persen menjadi 44 persen-50 persen," terang Hanry.

Sebelumnya Hanry sangat berharap, pemerintah bisa menunda pemberlakuan Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, karena SILO belum siap melakukan pemurnian biji mineral disebabkan beberapa faktor.

Diantaranya, pembangunan pabrik pengolahan bijih besi smilter di Pulau Sebuku, baru dilaksanakan tahap pertama, dan masih ada tahab berikutnya.

Selain persoalan kesiapan pabrik smilter, banyaknya karyawan PT SILO dan karyawan sub kontraktor yang hidupnya menganggantungkan kepada perusahaan juga harus menjadi pertimbangan pemerintah untuk menunda pemberlakukan UU.4/2009.

Karena jika aturan itu diberlakukan dan tidak ada solusi, SILO akan melakukan penghentian produksi, artinya perusahaan bisa tutup, dan terjadi PHK.

Henry menjelaskan, PT SILO yang menargetkan produksinya rata-rata 10 juta ton per tahun, hingga saat ini baru mampu memproduksi bijih besi rata-rata 6-8 juta ton per tahun.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement