REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) masih berupaya menggenjot produksi kedelai dalam negeri. Apabila ketersediaan kedelai dalam negeri mencukupi, harapannya impor kedelai dapat berkurang.
Ketua II Gakopti (Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia), Sutaryo Bin Daan mengingatkan sebaiknya upaya ini didasarkan pada data yang tepat.
Selama ini Kementan mengklaim terdapat 850 ribu kedelai yang bisa diserap pengrajin tahu tempe. Untuk itu impor kedelai yang dibutuhkan hanya 1,7 juta ton per tahun.
Namun kenyataannya, pengrajin kesulitan mendapatkan kedelai lokal. Jumlah kedelai maksimal yang didapatkan sebesar 300 ribu ton. Kedelai ini pun langsung diserap habis oleh pasar.
"Bagi pengrajin yang penting tersedianya bahan baku yang baik harga terjangkau baik kedelai lokal maupun impor dengan harga yang stabil," ujar Sutaryo, Jumat (20/12).
Apabila swasembada kedelai ingin diwujudkan, sebaiknya dimulai dengan data yang benar. Apalagi jika peningkatan produksi yang dilakukan tidak berhasil.
Kalau data yang ada tidak dibenahi sementara pemerintah berkeras mengurangi impor kedelai, konsumen tentu akan dibebani dengan harga yang tinggi.
Kementan disarankan untuk mengecek kebenaran data dan angka produksi kedelai lokal, apakah sesuai atau tidak dengan yang terjadi di lapangan. Badan Pusat Statistik (BPS) menurut dia cukup terbuka untuk koreksi data.
Sebagai contoh, paska demo kedelai tahun 2008 pemerintah memberi subsidi harga kedelai kepada pengrajin tahu-temper dengan potongan harga sebesar Rp 1000 per kilogram (kg).
Saat itu jumlah pengrajin tahun tempe se-DKI Jaya menurut perhitungan BPS berjumlah 1600 orang. Padahal berdasarkan data Primpkopti se-DKI, saat itu jumlahnya mencapai 5 ribu orang. "Akhirnya Kementerian Perindustrian dan BPS setuju dengan data yang saya ajukan," katanya.
Data Kedelai Lokal :
2008: 775.000 ton
2009: 970.000 ton
2010: 907.000 ton
2011: 819.000 ton
2012: ± 850.000 ton
Jumlah: 4.325.000 ton.
*Rata-rata 865.000 per tahun