Senin 16 Dec 2013 17:11 WIB

Ekonomi Indonesia 2014 Dihantui Risiko

Rep: Friska Yolandha/ Red: Nidia Zuraya
Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat di 2014. Ekonomi nasional juga dihantui sejumlah risiko yang dapat membuat pertumbuhan menjadi lebih lambat dari perkiraan.

Pada 2014, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 5,3 persen dari proyeksi tahun ini sebesar 5,6 persen. Harga Indeks Konsumen (HIK) diproyekdikan turun dari 7,0 persen pada 2013 menjadi 6,1 persen. Dibantu pelemahan impor dan penguatan ekspor, defisit neraca berjalan diperkirakan berkurang dari 3,5 persen menjadi 2,6 persen.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia mengandung faktor ketidakpastian yang cukup besar dan risiko yang condong pada pertumbuhan yang lebih rendah. "Indonesia menghadapi risiko yang terkait pertumbuhan dan prospek fiskal," ujar Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop pada Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia di Gedung Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Senin (16/12).

Risiko pertumbuhan yang dihadapi Indonesia adalah seperti masih rendahnya ekspor dan termasuk faktor eksternal seperti membaiknya pasar global dan rencana tapering off oleh bank sentral Amerika Serikat (AS). Sedangkan risiko fiskal yang dihadapi adalah melalui depresiasi rupiah yang Bank Dunia perkirakan bakal mencapai 10 persen. Depresiasi ini akan meningkatkan defisit fiskal sebesar 0,3-0,4 poin atas PDB.

Proyeksi PDB Indonesia sangat sensitif terhadap proyek investasi. Rencana penarikan stimulus bank sentral AS membuat pasar bergejolak dan menghambat akses Indonesia terha eksternal. Padahal jika dibandingkan dengan negara lain, rasio penanaman modal asing (PMA) di Indonesia masih kecil. "PMA di Indonesia tidak sampai setengah PMA di Cina," kata Diop.

Ia menilai PMA inilah yang akan menjadi kunci pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, alih-alih menekan impor. Impor Indonesia masih sangat kecil dibandingkan negara berkembanlan di Asia. Sehingga, menekan impor tidak akan banyak mengubah ekonomi. Apalagi, Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Kalaupun impor ditekan, kata Diop, pemerintah seharusnya tidak mengurangi impor bahan baku. Hal tersebut akan menekan pertumbuhan.

Ketidakpastian aturan di Indonesia cukup tinggi. Diop melihat ada beberapa kebijakan pemerintah yang cukup bagus namun tidak dijalankan. "Ini menjadi beban bagi Indonesia untuk menarik PMA," ujar Diop. Jika ini terjadi, maka Indonesia mungkin saja tumbuh di bawah lima persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement