REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat terdapat 13 ribu sub rekening yang terlantar. Direktur Utama KSEI Heri Sunaryadi mengatakan, keseluruh sub rekening ini berasal dari 38 emiten yang sudah delisting dan tidak beroperasi.
"Emiten-emiten ini tidak dapat dihubungi sehingga sahamnya tidak dapat ditransaksikan atau dikonversi ke dalam bentuk warkat," kata Heri dalam fokus grous discussion (FGD), Rabu (4/12).
KSEI merupakan lembaga penyimpan dan penyelesaian (LPP) yang menyediakan jasa kustodian sentral dan penyelesaian transaksi yang teratur, wajar, dan efisien. Sebagai LPP, KSEI menyimpan seluruh Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui mekanisme penitipan kolektif, dan melaksanakan penyelesaian transaksi efek dengan mekanisme pemindahbukuan.
Terkait mekanisme penitipan kolektif di KSEI, ada permasalahan yang perlu mendapat perhatian pihak otoritas dan regulator di pasar modal dan juga para pelaku pasar, yaitu mengenai unclaimed assets atau aset terlantar yang tercatat dalam rekening efek yang ada di KSEI. Aset terlantar adalah aset yang tidak diklaim oleh nasabah pemegang rekening KSEI atau emitennya yang sudah delisting dan tidak ada pihak yang mewakili emiten.
Kondisi pertama terjadi karena perusahaan efek atau bank kustodian tidak dapat menghubungi nasabahnya. Padahal, nasabah tersebut masih memiliki aset yang dititipkan di KSEI. Hal ini semakin rumit apabila perusahaan efek atau bank kustodian tersebut telah dibubarkan. Dengan demikian terjadi pengalihan kewajiban penyimpanan aset dari perusahaan efek ke rekening tampungan oleh KSEI.
Kondisi kedua terjadi karena emiten tidak memberikan informasi tentang status dan perubahan identitas perusahaan. Hal ini membuat KSEI terhambat dalam melakukan kegiatan administrasi efek yang dititipkan.
Heri menilai, aset terlantar ini perlu dicari solusinya. Aturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat ini belum cukup lengkap dan memadai untuk menyelesaikan persoalan ini.
Kepala Eksekutif Bidang Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengatakan, masalah efek terlantar merupakan hal krusial yang perlu didiskusikan dan dicarikan solusi hukumnya. Hal ini mengingat permasalahan ini bukanlah hal yang muncul belakangan ini saja, melainkan sudah berlangsung cukup lama, terlebih setelah adanya konversi efek dari script menjadi scriptless.
Terkait masalah ini, pengawas pasar modal melihatnya dari dua hal. Pertama adalah aspek kuratif atau penyelesaian terhadap permasalahan efek yang telah ada. "Kedua adalah aspek preventif, yaitu upaya mencegah terjadinya permasalahan yang sama di masa yang akan datang," kata Nurhaida.
OJK telah melakukan upaya pencegahan dimaksud melalui sejumlah peraturan dan kebijakan yang ada. Misalnya terkait dengan kewajiban pemodal untuk membuka Rekening Efek ketika akan melakukan transaksi atau perdagangan Efek.
Selain itu, dalam melakukan pembukaan Rekening Efek, perusahaan efek juga wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir penggunaan KTP milik orang lain untuk keperluan transaksi pihak-pihak tertentu yang berpotensi menimbulkan efek terlantar.