REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rendahnya realisasi belanja pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat berujung pada tidak optimalnya perekonomian nasional. Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Rahardjo mengatakan tidak optimalnya realisasi ini kerap menjadi sorotan setiap tahunnya.
Salah satu faktor yang dikeluhkan adalah prosedur belanja pemerintah, khususnya belanja pegawai dan belanja modal yang relatif rumit dan perlu waktu untuk melaksanakannya. Di sisi lain, ujar Agus, pengetahuan pegawai atau pejabat pemerintah mengenai proses pengadaan barang/jasa tidak memadai. Seperti halnya kuasa pengguna anggaran (KPA) atau pejabat pembuat komitmen (PPK) yang masih belum yakin benar atau tidaknya keputusan yang diambil mengenai proses penadaan barang dan jasa agar terhindar dari permasalahan hukum.
Selain itu, dari sekitar 4,2 juta perusahaan di Indonesia yang bergerak di sektor pengadaan barang/jasa, Agus menyebut hanya 3,5 persen yang terlibat. "Dampaknya, masyarakat menilai pemerintah hanya fokus untuk membelanjakan anggaran tanpa memperhatikan aspek manfaat, efisiensi dan produktivitas," ujar Agus dalam diskusi di Jakarta, Senin (30/9).
Sampai dengan semester I 2013, realisasi belanja modal hanya 31,4 persen atau Rp 60,6 triliun dari pagu anggaran Rp 192,6 triliun. Sementara realisasi belanja pemerintah pusat secara keseluruhan baru mencapai 35,2 persen dari pagu anggaran Rp 1.196,8 triliun.
Agus menjelaskan, reformasi pengadaan barang/jasa dimulai lewat e-procurement yang mengedepankan efisiensi dan transparansi sehingga memungkinkan setiap K/L/D/I lebih produktif dan aman dalam membelanjakan anggaran. Prinsip lainnya adalah persaingan sehat sehingga dapat membuka peluang yang sama bagi para pelaku usaha untuk masuk ke dalam pengadaan pemerintah. "Sehingga, K/L/D/I dapat mengoptimalkan anggaran belanjanya dengan tetap memperhatikan kualitas output belanja," kata Agus.
Sebagai gambaran, e-procurement memiliki dasar hukum berupa Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 jo Perpres 70/2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dasar hukum lainnya adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2013 yang mewajibkan seluruh K/L membuat e-procurement.
Lebih lanjut, Agus mengharapkan seluruh K/L/D/I mampu melakukan pengadaan secara elektronik 100 persen untuk mendorong optimalisasi belanja pemerintah. Sedangkan untuk saat ini, jumlahnya baru mencapai 14 persen dari total seluruh K/L/D/I.
Berdasarkan data LKPP, sejak 2008, Rp 416,7 triliun lelang pengadaan barang/jasa yang tercatat dalam laman resmi LKPP. Dari jumlah tersebut, anggaran negara yang dihemat lewat e-procurement Rp 44 triliun. Khusus untuk tahun ini, sampai Juli 2013, lelang pengadaan barang/jasa Rp 195 triliun dengan Rp 162 triliun telah selesai dilakukan. Penghematan diperkirakan mencapai Rp 21 triliun.