REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) mengeluh bahwa melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dolar AS membuat harga bahan-bahan konstruksi naik antara 15-21 persen. Ketua Umum LPJK Tri Widjajanto J mencontohkan, kebutuhan bahan konstruksi seperti aspal nasional adalah 1,6 juta ton per tahun.
Namun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pertamina (Persero), hanya sanggup menyediakan aspal sebanyak 700 ribu ton, jadi sisa kebutuhan aspal sebanyak 900 ribu ton harus diimpor. “Padahal selama Bulan Mei 2013-September sekarang ini kan terjadi fluktuasi nilai tukar rupiah. Akibatnya harga aspal impor naik 21 persen,” katanya kepada wartawan yang ditemui setelah acara Rapat pimpinan nasional Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) di Jakarta, Selasa (24/9).
Sementara itu, dia melanjutkan, harga bahan konstruksi impor lainnya seperti besi maupun beton naik di kisaran 17 persen. Padahal, kata Tri, perusahaan-perusahaan jasa konstruksi rata-rata meraup laba bersih setelah pajak yaitu 2-5 persen. “Nah kalau harga-harga bahan-bahan konstruksi impor terus naik semuanya, keuntungannya kan habis,” ucapnya.
Dia menegaskan, solusi masalah tersebut harus dipecahkan bersama-sama. Untuk itu, pihaknya berencana akan mengusulkan ke pemerintah yaitu insentif kebijakan eskalasi (penyesuaian harga kontrak) untuk proyek tahun tunggal (single years) maupun proyek tahun jamak (multi years).
“Sebenarnya kebijakan eskalasi tersebut sebenarnya sudah ada di Peraturan Presiden (Perpres) No 70 Tahun 2012,” ujarnya. Selain itu, kata Tri, pihaknya juga akan mengusulkan tinjauan penyesuaian harga bahan-bahan konstruksi karena semua harga bahan-bahan konstruksi naik.