REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak turun tajam pada Senin (23/9) atau Selasa (24/9) pagi WIB, di tengah berkurangnya kekhawatiran tentang ketegangan di Timur Tengah dan dampak potensialnya terhadap persediaan minyak. Kontrak utama New York, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November, ditutup pada 103,59 dolar AS per barel, turun 1,16 dolar AS dari penutupan Jumat (20/9) kemarin.
Minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman November merosot 1,06 dolar AS menjadi menetap di 108,16 dolar AS per barel di perdagangan London. "Kekhawatiran sisi pasokan tampak berkurang. Sebuah aksi militer terhadap Suriah tampak semakin tidak mungkin, sementara presiden baru Iran telah mengisyaratkan kesediaannya untuk bernegosiasi mengenai program nuklir Teheran," kata Fawad Razaqzada dari GFT.
"Di atas semua itu, produksi dari Sudan Selatan telah mencapai tertinggi sejak awal 2012, sementara produksi di Libya juga telah dimulai lagi di beberapa bagian negara, sehingga menekan harga," ungkap Razaqzada.
Addison Armstrong dari Tradition Energy sepakat kekhawatiran Timur Tengah berkurang. "Premi risiko yang berhubungan dengan Suriah yang telah dibangun di pasar minyak terus menurun," ujarnya.
Uni Eropa pada Senin mengumumkan bahwa menteri luar negeri Iran akan bertemu kekuatan utama minggu ini mengenai program nuklir Teheran dalam apa yang bisa menjadi kontak tingkat tinggi bersejarah dengan Amerika Serikat. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, mengumumkan pertemuan itu setelah apa yang disebut pertemuan 'baik dan konstruktif' di markas PBB dengan menteri luar negeri pemerintahan baru Iran, Mohammad Javad Zarif.
Negara-negara Barat menuduh Iran sedang berusaha meningkatkan kemampuan bom nuklirnya. Presiden baru Iran Hassan Rouhani mengatakan pekan lalu bahwa negaranya "tidak pernah" membangun bom.
Analis Commerzbank mengatakan Iran bertujuan untuk mengurangi sanksi Barat, yang menyebabkan ekspor minyak Iran turun lebih dari setengahnya, di bawah satu juta barel per hari. "Meskipun negara ini tidak mungkin kembali dengan cepat ke tingkat produksi sebelum sanksi Barat, perkembangan diplomatik baru bisa mendorong lebih lanjut investor keuangan keluar dari pasar," kata Commerzbank dalam sebuah catatan risetnya yang dikutip AFP.