REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tata kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) Indonesia dinilai salah kaprah. Pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan, sejak lahirnya UU Migas No 22 Tahun 2001, semangat pengelolaan migas tak lagi pro 'merah putih'.
Kurtubi mengatakan, sejak awal ia mengingatkan soal hak kuasa pertambangan yang di atur di undang-undang tersebut.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM memberikan kuasa pertambangan kepada pelaku usaha. "Yang didominasi pelaku usaha asing," ujar Kurtubi saat berkunjung ke Harian Republika, Senin (2/9).
Kemudian pasal yang mengharuskan harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi mengikuti mekanisme pasar juga bermasalah.
Puncaknya pada tahun 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan 13 pasal yang menghapus keberadaan BP Migas. "Banyaknya pasal yang dihapus membuktikan UU ini bermasalah sejak awal," ujar Kurtubi.
Dihapuskannya BP Migas membuat Presiden SBY mengeluarkan Peppres pembentukan SKK Migas. Badan ini diharapkan bisa menggantikan peran-peran BP Migas.
Kurtubi melihat langkah presiden ini justru menimbulkan masalah baru. Secara hukum, seharusnya presiden membuat Perppu yang sejajar dengan UU Migas. "Posisinya lemah secara hukum jika terjadi dispute," ungkap Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies ini.
Idealnya, ungkap Kurtubi, pemerintah tidak lagi membentuk badan khusus untuk menangani industri hulu migas. Kurtubi menyarankan perusahaan negara dalam hal ini Pertamina diberikan peran lebih dalam tata kelola migas. Sehingga nantinya yang terjadi adalah kesepakatan Business to Business.