REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Ekonom PT Bank BNI (Persero) Tbk Ryan Kiryanto menilai pemerintah dan Bank Indonesia masih harus bekerja keras dan terus berkoordinasi untuk mengawasi pergerakan harga di pasar. Terlebih, tekanan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi 22 Juni 2013 telah tercermin dalam inflasi Juli dan Agustus 2013.
Selain itu, ujar Ryan, pemerintah tetap harus waspada karena impor hortikultura (termasuk bahan makanan) masih tinggi. "Ini berpotensi menyumbang imported inflation di saat rupiah melemah terhadap dolar AS," kata Ryan kepada ROL, Senin (2/9). Pada 2013 ini, BNI memproyeksikan inflasi berada pada kisaran 9,2 sampai 9,8 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS mencatat indeks harga konsumen (IHK) atau inflasi Agustus 2013 sebesar 1,12 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan inflasi Juli 2013 yang tercatat 3,29 persen. Sementara inflasi tahun kalender berada pada posisi 7,94 persen dan inflasi tahunan tercatat 8,79 persen. Target pemerintah dalam APBN Perubahan 2013 adalah 7,2 persen.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan inflasi Agustus 2013 yang dilansir BPS lebih rendah dari perkiraan pemerintah sebesar 1,27 persen. Chatib mengaku mengkhawatirkan apabila besarannya lebih tinggi dari 1,30 persen. "Berarti kalau lihat trennya begini, saya percaya September akan balik ke normal sehingga inflasinya bisa inline," kata Chatib.
Senada dengan Ryan, Chatib menyebut imported inflation akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS harus dijaga. Oleh karena itu, salah satu kebijakan pemerintah yang mengubah mekanisme importasi dari berdasarkan kuota menjadi harga dinilai akan berimbas pada percepatan arus barang. "Tapi proyeksi kami lebih baik diletakkan di 9,2 persen. Jangan cepat-cepat girang," ujarnya.