Kamis 22 Aug 2013 15:49 WIB

Produk Makanan dan Minuman Indonesia Sulit Tembus Pasar Korsel

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
Sayuran dan buah produk hortikultura (ilustrasi)
Foto: distan.pemda-diy.go.id
Sayuran dan buah produk hortikultura (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengeluhkan produk buatan Indonesia yang sulit mengeksor ke Korea Selatan (Korsel) diantaranya karena tarif  bea masuk ekspor makanan dan minuman (mamin) yang mencapai hingga 45 persen.

Ketua umum Gapmmi Adhi S Lukman mengatakan, sebenanya antara negara-negara anggota ASEAN dengan Korsel sudah menyepakati perjanjian kawasan perdagangan bebas (FTA). Tetapi ekspor produk-produk, termasuk makanan dan minuman dari Indonesia ke Korsel masih dikenakan bea masuk tarif yang dinilainya masih tinggi. ‘’Terutama produk-produk olahan masih ada yang dikenakan bea masuk antara 40-45 persen,’’ katanya kepada wartawan, Kamis (22/8).

Dia menyebutkan, produk makanan yang diekspor seperti manisan, nata de coco, sampai sayur-sayuran dikenakan tarif bea masuk sebesar 40 persen. Bahkan produk manufaktur  masih banyak yang dikenakan bea masuk diatas 40 persen.

Akibat pengenaan tarif tersebut, kata Adhi, produk Indonesia masih sulit menembus pasar Korsel. Padahal, dia melanjutkan, Indonesia sudah lebih terbuka terhadap impor dan pengenaan tarif bea masuk lebih rendah. Ini termasuk tarif bea masuk produk ekspor dari Korsel ke Indonesia maksimum 5 persen.

Selain itu, pihaknya mengeluhkan bahwa produknya sulit masuk ke Korsel karena masyarakat di negara tersebut sangat loyal dengan produk buatan negaranya ‘’Bukan hanya makanan, mobil dan elektronik boleh dikatakan 80 persen adalah buatan Korsel. Jadi keterbukaannya masih jauh sekali,’’ ujarnya.

Lebih lanjut Adhi mengatakan, kalaupun produk ekspor dari Indonesia bisa masuk ke negara tersebut, mayoritas masih sebatas memenuhi kebutuhan orang Indonesia yang ada di Korsel. Di satu sisi produk impor dari Korsel sudah banyak yang mauk ke Indonesia, mulai dari elektronik, baju, garmen bahkan makanan minuman.

Padahal, kata Adhi, Korsel sebenarnya memiliki prosek pasar yang cukup bagus karena dari segi ekonomi mirip dengan negara Jepang. Untuk itu pihaknya memberi masukan supaya pemerintah harus berunding lagi dengan Korsel. Namun perundingan dilakukan diluar konteks FTA-ASEAN. ‘’Harus ada perjanjian antara Indonesia-Korsel,’’ ucapnya.

Pertama, dia melanjutkan, tarif bea masuk produk ekspor Indonesia ke Korsel harus diturunkan. Pengenaan tarif bea masuknya sebesar itu tidak mungkin dapat dibayar oleh pihaknya. Padahal di satu sisi Indonesia sudah terbuka dengan produk Korsel. ‘’Saya kira pemerintah menerapkan asas resiprokal. Pengenaan tarif bea masuk produk impor dari Korsel yang sebesar 5 persen harus sesuai dengan tarif bea masuk produk ekspor Indonesia ke Korsel yang juga sebesar 5 persen,’’ paparnya.

Kedua pihaknya juga minta mereka antara Indonesia dengan Korsel saling membuka kelancaran akses (perdagangan). Apalagi Indonesia saat ini sudah banyak mengimpor produk-produk dari Korsel.‘’Nah ini yang harus kita perhatikan. Pemerintah harus melihat ke sana,’’ ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement