Rabu 21 Aug 2013 13:11 WIB

BI-KLH Dorong Perbankan Biayai Ekonomi Hijau

Rep: Satya Festiani/ Red: Nidia Zuraya
Gedung Bank Indonesia
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Gedung Bank Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mendorong perbankan untuk melakukan pembiayaan ramah lingkungan hidup. Perbankan juga diimbau untuk memperhatikan aspek efisiensi usaha dan pengelolaan lingkungan hidup serta kehati-hatian. Untuk mendorong hal tersebut, BI dan KLH memperpanjang Nota Kesepahaman (MoU).

Deputi Gubernur BI Ronald Waas mengatakan pengembangan perbankan ramah lingkungan sangat penting karena adanya dasar hukum yang kuat. "Dalam UU tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, semua aktifitas ekonomi harus mendorong pelestarian lingkungan. Pengabaian akan meningkatkan resiko, baik kredit, hukum, dan reputasi perbankan," ujar Ronald dalam Media Briefing 'Peran Perbankan dalam Melaksanakan Pembangunan Ekonomi Hijau', Rabu (21/8).

Menurutnya, pekerjaan rumah Indonesia adalah ketahanan pangan dan energi. Kedua sektor tersebut berkontribusi signifikan pada perekonomian karena nilai impor yang cukup besar, fluktuasi harga komoditas yang berpengaruh pada inflasi dan tekanan pada nilai tukar hingga defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Pembiayaan perbankan pada sektor energi dan pertanian diharapkan tak hanya menghasilkan swasembada energi dan pangan namun turut berkontribusi terhadap permasalahan green economy lainnya seperti penurunan gas rumah kaca.

Ronald mengatakan prinsip dasar green banking adalah memperkuat kemampuan manajemen resiko bank khususnya terkait dengan lingkungan hidup dan mendorong perbankan utk meningkatkan portofolio pembiayaan ramah lingkungan seperti energi terbarukan, efisiensi energi, pertanian organik, eco-tourism, transportasi ramah lingkungan, dan berbagai eco label products.

"Untuk jangka panjang, BI berharap green banking akan berkontribusi positif pada upaya penguatan kebijakan fiskal dan moneter yang tercermin dari menurunnya beban impor minyak dan produk pertanian karena terjadi peningkatan pasokan energi domestik dari sumber-sumber energi terbarukan yang didukung oleh perbankan nasional," paparnya.

Direktur Eksekutif Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) BI, Irwan Lubis, menjelaskan latar belakang penerapan green banking adalah isu nasional seperti penurunan pertumbuhan ekspor, ketahanan pangan dan ketahanan energi. Penurunan ekspor dan tingginya impor kebutuhan pokok dan minyak membuat NPI defisit. Pada triwulan II-2013, defisit NPI tercatat sebesar 2,5 miliar dolar AS.

Isu moneter seperti suku bunga kredit yang tinggi juga melatarbelakangi diusungnya green banking. Selain itu, pembiayaan bank juga masih banyak untuk industri pengolahan, perdagangan dan konsumsi.  Porsi pembiayaan perbankan tersebut mengindikasikan peran perbankan dalam penyaluran kredit di sektor hulu serta infrastruktur yang memberikan multiplier effect lebih tinggi bagi perekonomian masih perlu ditingkatkan.

"BI ingin bank sebagai fungsi utama sebagai lembaga intermediasi diharapkan pembiayaan perbankan memperhatikan aspek efisiensi usaha dan pengelolaan lingkungan hidup serta kehati-hatian," ujar Irwan. Oleh karena itu, BI mengeluarkan aturan yang tertuang dalam peraturan no 14/15/PBI/2012 tentang penilaian kualitas aktiva bank umum. Bank harus memperhatikan aspek lingkungan hidup dalam menilai kualitas aktiva (kredit/pembiayaan).

BI tengah mengkaji penambahan penilaian resiko dalam pemberian kredit, yakni resiko terkait kualitas pengelolaan lingkungan. Saat ini terdapat 8 penilaian resiko. "Apabila dimasukan akan memberikan perhatian yang lebih besar. Aspek resiko menghasilkan composite risk yang berpengaruh pada rating bank. Harus ada transisi bank menyiapkan infrastruktur dengan baik," ujar Irwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement