REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center for Petroleum and Energy Economic Studies Kurtubi menuding ada rekayasa di balik berlarut-larutnya pembicaraan terkait perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Mahakam oleh Total E&P Indonesie. Salah satu caranya dengan menuding PT Pertamina (Persero) tidak sanggup untuk mengelola blok yang terletak di Kalimantan Timur tersebut.
"Jadi direkayasa untuk diperpanjang dengan mengatakan Pertamina tidak mampu dari aspek teknologi dan keuangan. Nggak benar itu," ujar Kurtubi dalam acara Dialog Nasional Audit Indonesia (Jilid I) yang diselenggarakan Dewan Pakar Majelis Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (MPP ICMI) akhir pekan lalu.
Akhir pekan lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik bertemu dengan Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius. Dalam pertemuan, turut dibahas mengenai perpanjangan kontrak karya pengelolaan Blok Mahakam, Kalimantan Timur, oleh Total E&P Indonesie. Wacik menjamin kepentingan kedua negara akan diakomodir seturut berakhirnya kontrak 2017 nanti.
Kurtubi mengatakan secara pribadi dirinya menolak sekaligus menentang perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Mahakam oleh Total E&P Indonesie yang berakhir 2017 mendatang. "Kalau di Mahakam, kontrak is kontrak. Kalau sudah selesai, silakan keluar. Masalah ini terjadi karena tata kelola yang salah dan kita rugi secara finansial," paparnya.
Lebih lanjut, Kurtubi mengatakan pengambilalihan Blok Mahakam oleh Indonesia, dalam hal ini oleh Pertamina tidak akan serta merta diikuti oleh pemecatan orang-orang Total E&P Indonesie. Sebab, jika itu dilakukan, maka operasi dan produksi tidak akan berjalan. "Di mana-mana kalau bos atau pemiliknya diganti, karyawannya tetap bekerja," ujarnya.
Blok Mahakam saat ini dikelola oleh Total E&P dengan kepemilikan hak partisipasi 50 persen. Sedangkan sisanya dikuasai oleh Inpex Corporation asal Jepang. Kontrak kerja sama Mahakam akan berakhir pada 2017 mendatang. Cadangan gas yang tersisa di Blok Mahakam diperkirakan sekitar 12,5 TCF dengan potensi pendapatan kotor sebesar 187 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.700 triliun.