Jumat 02 Aug 2013 14:02 WIB

Ekonom: Operasi Pasar BI Tak Mampu Hentikan Pelemahan Rupiah

Rupiah
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Rupiah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (LP3E Kadin) Didik J Rachbini mengatakan, penyebab utama dari masalah pelemahan nilai tukar rupiah adalah kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang 'mengambang'.

"Akar masalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar ini bukanlah di sektor moneter, tetapi karena kebijakan pemerintah yang ragu dan tidak jelas dalam mengatasi masalah subsidi BBM di APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)," kata Didik di Jakarta, Jumat (2/8).

Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Diskusi Evaluasi Ekonomi Nasional Pasca Kenaikan Harga BBM di Ruang Diskusi Menara Kadin. Menurutnya, keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM telah berjalan selama dua tahun dalam bentuk wacana yang cenderung membuat ketidakpastian, sehingga mempersulit para pebisnis dan ekonom dalam membuat ekspektasi ekonomi.

"Kebijakan subsidi BBM yang ragu-ragu ini membuat ekspektasi ekonomi menjadi sulit dan momentum ekonomi yang baik tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal," ujarnya.

Selama pemerintah berwacana mengenai pengurangan subsidi BBM, kata dia, impor BBM cenderung meningkat sehingga pasti memberi tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Didik menilai tekanan terhadap nilai tukar dolar AS terhadap rupiah yang telah menembus batas di atas 10 ribu belum berhenti, tetapi terus berjalan meski Bank Indonesia (BI) telah melakukan operasi pasar.

"Tekanan terhadap rupiah memang terus-menerus berlangsung dan gencar. Namun pelemahan rupiah itu bukan disebabkan kinerja Bank Indonesia yang tidak bisa mengendalikan nilai tukar karena itu sebenarnya di luar sektor moneter," katanya.

"Jadi, ini sebenarnya bukan salah BI, tetapi ini salah pengelola kebijakan ekonomi. Saya kira nantinya presiden yang akan datang harus menerima warisan masalah ini," tambah Ekonom LP3E Kadin itu.

Ia berpendapat kebijakan pengurangan subsidi BBM pada Juni dianggap kurang baik karena dilakukan pada saat menjelang hari-hari raya keagamaan sehingga tidak memberikan cukup waktu untuk menganalisa dampak kenaikan harga BBM pada ekonomi nasional. "Selanjutnya, kebijakan energi dan subsidi energi itu 'tidak kreatif' karena volume konsumsi tetap tidak terkendali dan APBN 'jebol'," tuturnya.

Selain itu, ia mengatakan impor minyak yang terus meningkat membuat para mafia impor minyak semakin banyak 'mengeruk' rente ekonomi, sedangkan keadaan ekonomi nasional masih terus terkendala dengan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. "Jadi, nilai tukar rupiah yang menembus batas psikologis 10 ribu per dolar AS adalah konsekuensi dari kebijakan ekonomi yang jauh dari memadai," kata Didik.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement