Rabu 31 Jul 2013 23:46 WIB

Lokasi Ladang Gas Disebut Penyebab Harga Gas Mahal

 Pekerja tambang beraktivitas di area pengeboran minyak dan gas.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pekerja tambang beraktivitas di area pengeboran minyak dan gas. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Lokasi pengembangan ladang gas yang jauh di tengah laut dalam dianggap faktor utama harga gas yang mahal. "Penemuan gas kita banyak, tetapi ternyata kecil-kecil, yang agak besar itu kira-kira 1.500-2.000 meter, seperti di Selat Makassar dan di Laut Arafuru yang kedalamannya 600-800 meter, sehingga biaya yang diperlukan banyak, otomatis harga jualnya terpaksa mahal," kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo.

Pandangan itu ia sampaikan usa "Optimalisasi Regulasi Gas Nasional Menuju Harga Gas yang Tepat Guna bagi Industri" di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (31/7).

Berdasarkan data Kementerian ESDM, harga gas berdasarkan kontrak, yakni untuk industri 5,2-9,79 dolar AS per million British thermal unit (MMBTU), pupuk 3,6-9,0 dolar AS per MMBTU, listrik 4,0-15,0 dolar AS per MMBTU, LNG 11,0 dolar AS per MMBTU serta eskpor gas melalui pipa 6,0-17,0 dolar AS per MMBTU.

"Harga juga bergantung pada permintaan dan pasokannya. Jadi, pada kondisi sekarang ini yang harganya murah ya memang seperti itu dalam kontraknya," katanya.

Dia menjelaskan setiap pengembangan lapangan berbeda-beda, sehingga nilai keekonomiannya berbeda-beda. "Pengeluarannya dari satu tempat ke tempat lain juga berubah-ubah, tentunya pengguna gas itu ada kalanya tidak punya pilihan dan menyesuaikan dengan harga yang diperlukan untuk membangun suatu lapangan," katanya.

Menurut Susilo, harga gas juga harus berdasarkan eskalasi, dikaitkan dengan harga minyak, harga produk dan kombinasi antara harga produk dan harga minyak. "Yang jelas tidak mungkin harga gas lebih mahal dari harga minyak," katanya.

Dalam penentuan harga gas, dia menjelaskan, pemerintah juga mempertimbangkan pemilihan model harga gas yang mendorong pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi optimal.

Dia mengatakan kebutuhan dan permintaan gas bumi paling banyak dari industri pupuk dan listrik, namun ia  mengatakan ada kemungkinan perbedaaan harga jual antara BUMN dan PLN.

Tak hanya itu, faktor infrastruktur pun sangat mempengaruhi. Wamen tak memungkiri pemerintah masih harus membangun fasilitas dan infrastuktur baik di lapangan maupun yang menghubungkan dari produsen ke konsumen untuk distribusi gas bumi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement