Kamis 04 Jul 2013 10:12 WIB

Banjir Impor Pangan, Mendag Gita Justru Lindungi Kartel, AS dan WTO

Sayuran dan buah produk hortikultura (ilustrasi)
Foto: distan.pemda-diy.go.id
Sayuran dan buah produk hortikultura (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme dan Imperialisme (Gerak Lawan) yang beranggotakan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai sederet mega skandal dan kerugian negara di sepanjang paruh pertama 2013, tidak cukup membuat Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wiryawan mencabut fasilitasi impor pangan. Hal ini, menurut Gerak Lawan, mengindikasikan Mendag Gita lebih takut menghadapi gugatan Amerika Serikat (AS) ke WTO, ketimbang melindungi petani, nelayan, pekebun, peternak serta segenap rakyat Indonesia baik laki-laki maupun perempuan.

Pada Januari 2013 Pemerintah AS menggugat Pemerintah Indonesia ke Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Mechanism) WTO karena mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang dianggap terlalu protektif dari masuknya produk holtikultura.

"Padahal, aturan pembatasan hortikultura ini dikeluarkan setelah Indonesia diserbu berbagai komoditas pertanian murah terutama produk hortikultura seperti bawang putih dan kentang dari AS, Australia, Kanada, serta Cina terkait implementasi penuh Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang menghantam keras petani kecil dan keamanan pangan (food safety) rakyat Indonesia," papar Abdul Halim, Sekjen Kiara Indonesia salah satu LSM yang tergabung dalam Gerak Lawan, dalam keterangan tertulisnya kepada ROL, Kamis (4/7).

Merespon gugatan AS tersebut, Mendag Gita bukannya bertahan untuk petani kecil namun justru  merevisi ketentuan pembatasan impor hortikultura ini melalui Permendag No 16 tahun 2103 dengan memberlakukan pengaturan perijinan impor satu pintu guna memudahkan aliran impor barang masuk, mengurangi komoditas, pos tariff dan kuota. Konteks ini pula, menurut Abdul, yang hendak dipromosikan oleh Kementerian perdagangan saat berlangsungnya  KTM WTO ke 9 di Bali bulan Desember 2013 mendatang.

"Hal ini ditandai juga dengan keengganan RI mendukung proposal anggota G-33 dalam perundingan WTO. Ke-46 negara anggota G-33 saat ini tengah mendesak dihapusnya pembatasan subsidi untuk stok pangan dalam negeri dalam rangka melindungi petani kecil di negaranya," ungkap Abdul.

Namun, lanjut Abdul, yang terjadi justru sebaliknya pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Perdagangan mengatakan akan mencoba menjembatani polarisasi AS dengan anggota G-33 dalam pertemuan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali. "Pilihan yang diambil ini semakin menegaskan sikap pemerintah Indonesia yang tidak berpihak pada rakyatnya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement