Senin 01 Jul 2013 17:16 WIB

Pajak UKM Diprotes, Ini Tanggapan Dirjen Pajak

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Perajin UKM (ilustrasi)
Foto: nenygory.wordpress.com
Perajin UKM (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah asosiasi usaha kecil dan menengah (UKM) dikabarkan menolak pengenaan pajak UKM. Hal tersebut disebabkan kebijakan itu dinilai akan memberatkan dan merugikan pengusaha UKM. Terlebih, keadaan pengusaha UKM saat ini sedang lemah. 

Menanggapi keluhan tersebut, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany menjelaskan Ditjen Pajak telah bertemu dengan sejumlah perwakilan UKM sebelum kebijakan itu dilansir.  "Sebelum-sebelum ini sudah sering kita bertemu dan tidak ada yang kontra.  Ini permintaan dari UKM sendiri kok," ujar Fuad kepada wartawan saat ditemui di Kementerian Keuangan, Senin (1/7). 

Fuad menambahkan, pertemuan dengan Kementerian Koperasi dan UKM pun rutin dilakukan. Penolakan yang hadir, kata Fuad, disinyalir berasal dari pengusaha-pengusaha yang mengaku UKM, tapi bukan UKM. "Ini yang bagian protes mereka ini nih," ujarnya.

Wajib pajak orang pribadi dan badan yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak, akan dikenai pajak dengan tarif pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final sebesar satu persen. Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.PP ini terbit pada 12 Juni 2013 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2013. 

Dalam PP itu juga diatur tentang kriteria wajib pajak orang pribadi dan badan yang tidak dapat memanfaatkan aturan ini. Mereka adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. Contohnya adalah pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar dan sejenisnya. 

Kriteria selanjutnya adalah wajib pajak badan yang beroperasi secara komersial atau dalam jangka waktu satu tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebihi Rp 4,8 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement