REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menyepakati perubahan skema tarif khusus listrik. Jika sebelumnya konsep awal yang diajukan oleh Kementerian ESDM adalah program tarif khusus listrik (feed in tariff), maka konsep itu kini berubah menjadi tarif tertinggi (ceiling tariff).
''Kalau bisa lebih rendah, kenapa tidak?," ujar Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (18/6).
Mengapa kesepakatannya mengacu kepada tarif tertinggi?Bambang menuturkan, dengan skema sebelumnya, besaran feed in tariff di Sumatra tercatat 11 sen dolar AS per kwh. Namun dengan adanya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Sarulla, Sumatra Utara, yang dioperasikan April lalu, ternyata tarif dapat ditekan menjadi 6 sen dolar AS sampai 7 sen dolar AS per kwh. "Sedangkan skema tarif rata-rata kita 7-8 sen dolar AS oleh PLN," kata Bambang.
Menurut Bambang, perubahan konsep ini selaras dengan tujuan awal pemerintah yang ingin menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan mendorong energi baru dan terbarukan pada pembangkit listrik. Seperti diketahui bersama, tingginya konsumsi BBM pada pembangkit listrik PLN merupakan penyebab melambungnya subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebagai gambaran, APBNP 2013 yang baru disahkan kemarin, alokasi belanja subsidi meningkat menjadi Rp 100 triliun dari besaran sebelumnya Rp 80,9 triliun. Dalam APBNP 2013, penggunaan konsumsi BBM untuk pembangkit listrik PLN diproyeksikan meningkat menjadi 6,27 juta kiloliter (KL). Rinciannya antara lain konsumsi BBM untuk wilayah Indonesia barat 3,09 juta KL, wilayah Indonesia timur 2,14 juta KL dan wilayah Jawa-Bali 1,04 juta KL.