REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat selama ini sudah terlalu dimanjakan dengan berbagai subsidi. Padahal, subsidi itu dalam jangka panjang akan menjadi racun.
Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan mengatakan, di Nepal, dengan pendapatan per kapita 500 hingga 600 dolar AS, justru tidak ada subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM).
Di sana, harga BBM sejenis premium Rp 12 ribu per liter, solar Rp 13 ribu per liter. Ia yakin, dengan pendapatan per kapita Indonesia 3.800 dolas AS , kenaikan harga BBM masih bisa dijangkau dan bisnis pengusaha juga relatif tak terlalu terganggu. "Minimal di Indonesia jangan terlalu besar subsidinya," kata Paulus di Jakarta, Selasa (4/6).
Ia yakin kenaikan harga BBM tidak berdampak serius terhadap industri. Malahan, pengurangan subsidi itu akan lebih baik dialihkan untuk mendukung energi alternatif seperti biofuel. “Saya kira kenaikan BBM tidak terlalu berdampak, pasti positif,” katanya. Subsidi pemerintah berkurang dan dana itu bisa untuk energi terbarukan, termasuk biofuel.
Paulus meminta, dana subsidi yang dialihkan dari minyak itu kemudian bisa dipakai untuk menambah dana riset para pengusaha. "Bisa untuk riset atau yang lain dari dana subsidi," sarannya.
Ia kembali mengingatkan bahwa jika subsidi terlalu besar, akan jadi racun dalam jangka panjang. "Kalau terlalu besar kan racun dalam masyarakat. Tidak bagus," ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Demokrat Achsanul Qosasi menegaskan, penaikan BBM dilakukan untuk menyehatkan postur APBN yang sudah terlalu besar dengan beban subsidi. Menurutnya, subsidi BBM saat ini sudah tidak sehat lagi sehingga harus dikurangi.
Ia menegaskan, subsidi dari pemerintah akan tetap ada tapi dialihkan ke sektor yang lebih produktif. “Pemerintah ingin membentuk postur ABPN yang ideal,” jelasnya. Subsidi sekarang, yaitu yang rata-rata 20 persen, menurutnya sudah tidak sehat terhadap postur APBN.
Menurutnya, tidak ada niatan pemerintah memiskinkan rakyat. "Ini semata-mata untuk kesehatan fiskal,” katanya.