Selasa 28 May 2013 12:04 WIB

Ruang Fiskal Pemerintah Semakin Sempit

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ilustrasi).
Foto: www.arsipberita.com
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peningkatan proyeksi defisit keseimbangan primer dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2013 telah menekan ruang fiskal. Padahal ruang fiskal yang besar mutlak dibutuhkan sebagai upaya stabilisasi di tengah kerentanan perekonomian dalam negeri akibat kondisi perekonomian global yang tidak menentu.

"Ruang fiskal semakin terbatas," ujar Ekonom Universitas Indonesia I Kadek Dian Sutrisna Artha kepada ROL, Selasa (28/5). 

Keseimbangan primer adalah total pendapatan negara dikurangi belanja negara, tetapi tidak termasuk pembayaran bunga utang. Dalam APBN 2013, pendapatan negara ditargetkan Rp 1.529,7 triliun, sedangkan belanja negara ditetapkan Rp 1.683 triliun. Sementara untuk pembayaran bunga utang Rp 113,2 triliun dengan rincian pembayaran bunga utang dalam negeri Rp 80,7 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri Rp 32,5 triliun.

Pada RAPBNP 2013, pendapatan negara diturunkan menjadi Rp 1.488,3 triliun, sedangkan belanja negara ditingkatkan menjadi Rp 1.722 triliun. Sementara untuk pembayaran bunga utang menurun menjadi Rp 112,9 triliun dengan rincian pembayaran bunga utang dalam negeri Rp 79,5 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri Rp 33,4 triliun. Dengan demikian, keseimbangan primer dalam RAPBNP 2013 mengalami peningkatan dari defisit Rp 40,1 triliun menjadi defisit Rp 120,8 triliun. 

Kadek menjelaskan defisit primer terjadi akibat tertekannya penerimaan negara dari sisi perpajakan yang sangat terpengaruh oleh faktor-faktor global. Sedangkan di sisi lain, belanja negara terlalu banyak yang sifatnya rutin dan tetap seperti belanja pegawai, dana transfer ke daerah hingga subsidi. Oleh karena itu, Kadek menyebut pemerintah harus melakukan penyesuaian terhadap pos-pos belanja yang ada. 

Secara khusus, Kadek menilai perlunya subsidi bahan bakar minyak (BBM) segera dikurangi. Selain itu, perlu perluasan basis pajak untuk mendongkrak penerimaan perpajakan. "Defisit yang tinggi tentu akan memengaruhi tujuan pemerintah," kata Kadek. 

Pemerintah menginginkan agar dicapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun di sisi lain, pemerataan pertumbuhan ekonomi sulit terwujud mengingat belanjanya tidak efektif. Menteri Keuangan Chatib Basri menjelaskan defisit keseimbangan primer terjadi karena di satu sisi penerimaan negara sifatnya relatif fleksibel. 

Sedangkan di sisi belanja negara, terdapat persoalan berupa pengeluaran yang sifatnya wajib dan tidak fleksibel. Chatib mencontohkan penerimaan perpajakan yang tertekan akibat penyumbang pajak terbesar yaitu perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor komoditas mengalami penurunan profit. Ini terjadi akibat harga komoditas seperti batu bara hingga minyak kelapa sawit mentah yang masih rendah.

Sementara dari sisi belanja, terdapat sejumlah belanja yang wajib dikeluarkan pemerintah seperti dana pendidikan. "Berapapun belanja, pengeluaran anggaran pendidikan harus 20 persen," ujar Chatib. 

Chatib menyebut di masa depan perlu kehati-hatian ditetapkan sebagai pagu pengeluaran. "Kita harus sangat berhati-hati sebagai akibat dari keputusan yang kita buat bersama," ujarnya.

Defisit primer yang lebih jauh, menurut Chatib, membuka kemungkinan rasio utang terhadap produk domestik bruto juga mengalamai peningkatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement