Kamis 23 May 2013 21:45 WIB

Kenaikan Harga BBM Bukan Akhir Soal Subsidi?

Rep: Aldian Wahyu Ramadhan/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).   (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kenaikan harga premium menjadi Rp 6.500 dan solar menjadi Rp 5.500, sama sekali belum menyelesaikan persoalan subsidi. Dengan harga baru itu nanti tetap akan terjadi pembengkakan subsidi BBM.

 

Karut-marutnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari APBN dikarenakan kesalahan patokan harga. Seharusnya yang dijadikan patokan ialah harga pokok bukannya harga pasar.

 

Pengajar Pascasarjana Fakultas Ekonomi UI Dr Kurtubi mengatakan, sebelumnya MK telah mencabut pasal 28 ayat 2 UU Migas tentang harga migas diserahkan ke mekanisme pasar. ‘’Itu bertentangan dengan konstitusi,’’ kata dia kepada Republika Kamis (23/5) sore.

 

Harga pokok ialah harga yang dikeluarkan dari mulai biaya penyaluran ke SPBU termasuk margin pompa bensin, minyak mentah, operasi kilang dan lainnya.

Sedangkan harga pasar adalah harga dimana pelaku usaha sudah memperoleh untung dengan menggunakan patokan harga minyak internasional di Singapura.

 

Karena kesalahan itu, kata Kurtubi, selalu terjadi lonjakan subsidi dari APBN ke APBNP. Apabila pemerintah dan DPR selalu mengulang kesalahan yang sama tak ada gunanya lagi ada kuota BBM bersubsidi karena pada realitasnya akan selalu melebihi kuota.

’Hapus saja kuotanya,’’ jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement