REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan sebuah kebijakan yang harus diambil pemerintah.
Kondisi fiskal serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak sehat menurut Presiden SBY menjadi alasan utama mengapa harga BBM harus dinaikkan.
"Kondisi fiskal dan APBN kita terus terang kalau dibiarkan saja tidak sehat dan kurang aman. Kalau tidak kita perbaiki keseluruhan kebijakan fiskal, maka defisit anggaran akan melebihi tiga persen, dan itu melanggar undang-undang," ujar Presiden saat menutup acara Musrenbangnas yang diadakan Bappenas di Jakarta, Selasa (30/4).
Disamping menganggu fiskal dan APBN, lanjut Presiden, subsidi BBM yang terlalu besar juga akan mengakibatkan anggaran untuk kesejahteraan rakyat dan pegurangan kemiskinan menjadi terlalu seidkit. " Selain itu biaya untuk pembangunan infrastruktur dasar juga menjadi sangat terbatas," tambah SBY.
Dalam pidatonya Presiden menuturkan besaran subsidi BBM dalam APBN 2013 mencapai Rp 193,8 triliun dari total subsidi yang disetujui DPR Rp 317,2 triliun. Sementara penerimaan negara dipatok sebesar Rp 1.529 triliun dan belanja negara Rp 1.683 triliun, sedangkan angka defisit Rp 153,3 triliun.
Menurut SBY, setelah bulan April jika tidak dilakukan perbaikan atau jika konsumsi tidak dikendalikan maka kebutuhan subsidi total di 2013 akan membengkak menjadi Rp 446,8 triliun. "Subsidi BBM juga akan bertambah jadi Rp 297,7 triliun dan angka defisit menjadi Rp 353,9 triliun atau melebihi tiga persen," kata Presiden.
Karena itu, kata Presiden, subsidi BBM memang perlu dikurangi. Caranya, lanjut dia, dengan menaikkan harga BBM secara terbatas dan terukur. "Kita tidak ingin dan tidak punya niat sekarang ini untuk menaikkannya hingga setara dengan harga pasar atau harga keekonomian yang mencapai Rp 10 ribu per liter," papar SBY.