REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem dua harga BBM bersubsidi yang akan diterapkan pemerintah dinilai rawan penyelewengan. Alih-alih menekan konsumsi, kebijakan ini justru rentan di lapangan.
Hal ini ditegaskan pengamat energi dari Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. "Yang punya hak membeli lebih murah bisa menjual lagi dengan harga lebih mahal," katanya kepada ROL, Rabu (17/4).
Karenanya, kenaikan harga tetap satu-satunya jalan. Disparitas harga yang dipersempit akan membuat konsumsi BBM bersubsidi bisa dihemat optimal.
"Lagipula dulu sudah pernah naik dan tak ada masalah," ujar Marwan. Bila inflasi yang menjadi soal, tanpa kenaikan BBM bersubsidi, faktanya inflasi memang sudah meningkat.
Dengan kenaikan ini, anggaran untuk pembangunan infrastruktur, transportasi umum dan pengembangan energi baru terbarukan bisa maksimal didapat. Pemerintahan baru pun tak perlu pusing dengan beban APBN yang semakin meningkat.
Meski demikian, kenaikan harga memang harus dibarengi dengan kompensasi pada rakyat miskin. Bisa saja bantuan langsung tunai (BLT) diberikan tapi dengan mekanisme e-KTP yang selama ini sudah diberlakukan agar tepat sasaran.
"Ke depan, saya kira pemerintah juga sudah harus membuat sistem khusus untuk pengaturan harga BBM bersubsidi," jelasnya lagi. Ini penting agar pemerintah bisa fokus ke soal lain dan BBM tak menjadi beban tiap tahun.
Misalnya, harga BBM bersubsidi ditentukan dari beberapa variabel. Seperti harga ekonomis BBM bersubsidi di pasar dunia, produksi minyak siap jual RI (listing) dan berapa variabel subsidi yang bisa dibayar pemerintah setiap tahun.
"Bisa saja subsidi yang ditanggung pemerintah hanya 15 persen di bawah harga pasar," jelasnya. Dengan ini, pemerintah bisa serius mengambangkan program energi lain seperti konversi BBM ke BBG.
Sebelumnya, pemerintah pernah menaikkan harga BBM bersubsidi pada Mei 2004, dari Rp 4.500 menjadi Rp 6 ribu per liter. Namun menjelang Pemilu 2009, harga BBM bersubsidi kembali diturunkan menjadi Rp 4.500 per liter.