REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Pembangunan Asia (Asean Development Bank/ADB) memandang kenaikan BBM bersubsidi bisa menjadi jalan utama bagi pemerintah untuk menekan konsumsi BBM.
Lembaga multinasional ini bahkan menegaskan kenaikan harga 20 hingga 30 persen, dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 masih logis untuk ekonomi RI.
"Kalau 20 hingga 30 persen, saya rasa masih managable," kata Deputy Country Director Indonesia Resident Mission ADB Edimon Ginting, Selasa (9/4). Namun, dikatakannya waktu kenaikan harus tepat.
Kenaikan BBM bersubsidi, tak boleh saat inflasi sedang tinggi. Inflasi tinggi biasanya terjadi pada pertengahan bulan di saat kesibukan tahun ajaran baru dan hari besar keagamaan berlangsung.
"Sekitar bulan keempat (April), itu waktu yang pas," ujarnya. Dengan kenaikan di saat yang tepat dampak inflasi tak akan meningkat signifikan hingga lebih dari dua persen.
Meski demikian, lanjutnya lagi, persoalan waktu kenaikan saja tak cukup. Kebijakan moneter dari pemerintah tetap harus mendukung stabilitas agar inflasi tak melonjak tajam.
"Misalnya soal makanan. Harus ada task force inflasi mulai dari BI, Menteri Perekonomian, Pemerintah Daerah, Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian yang mengatur hal ini," jelasnya.
Dengan kedua hal ini, inflasi diperkirakan hanya akan naik 0,5 hingga satu persen. Dari prediksi ADB semula 5,2 persen, inflasi akan naik menjadi 6,2 persen.