REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perumahan Rakyat memperkirakan pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mencapai 34 juta orang. Namun, jumlah yang baru bisa terpenuhi pemerintah masih lima persennya, sekitar 120 ribu orang.
Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera, Sri Hartoyo merinci dari jumlah tersebut sebanyak 14,8 juta buruh, yang 5,5 juta di antaranya pekerja pertanian, dan 5,5 juta pekerja bebas non pertanian. Berikutnya pekerja mandiri 19 juta.
"MBR ini belum bankable dan banyak sekali yang belum mengakses layanan perumahan," kata Sri Hartoyo di Jakarta, Selasa (26/3).
Kredit Perumahan Rakyat Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP), kata Sri Hartoyo, masih kecil sekali yang melayani masyarakat yang bekerja di sektor informal, sekitar lima persen.
Tantangannya saat ini adalah cara menekan harga rumah sehingga cicilan uang muka dan angsuran masih bisa terjangkau masyarakat tersebut. Masyarakat informal ini maksudnya masyarakat yang penghasilannya dari berusaha sendiri dan mendapatkan upah di luar hubungan kerja.
KPR FLPP sebetulnya sama dengan kredit kepemilikan rumah biasa, namun masalah yang sering timbul untuk KPR FLPP masyarakat pekerja informal terletak di collection angsurannya. KPR sebesar 70 persennya dijamin asuransi dan 30 persen dijamin bank. Jika terjadi gagal bayar, secara kolateral sudah dijamin.
Sri Hartoyo mencontohkan rumah dengan harga Rp 88 juta, maka masyarakat menyetorkan lima persen uang mukanya sekitar Rp 5 lima juta. Maka KPR-nya akan menjadi Rp 83 juta.
Per bulannya, MBR yang memiliki rumah menyetorkan Rp 33 ribu per bulan. Mungkin angka ini masih agak besar. Makanya harus ada intervensi pemerintah pusat dan daerah kepada kelompok sasaran yang dituju. Kemenpera sudah melakukan sinergi ini misalnya di Palembang, sehingga harga tanah lebih murah dan mudah diakses.