REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan perbankan di Indonesia masih terasa klasik, yaitu tingginya premi risiko (risk premium) yang menyebabkan suku bunga masih tampak tinggi. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan premi risiko perbankan saat ini berkisar 0,3 persen hingga 10 persen. Tingginya angka ini masih dipicu tingginya konflik kepentingan dalam ekonomi dibandingkan dengan interest rate.
Deputi Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan BI, Dhani G Idat, mengatakan jika premi risiko mendekati ke bawah 0,3 persen, tentunya akan membahagiakan masyarakat karena beban biaya dananya rendah. Sedangkan jika premi risiko mendekati 10 persen maka nilai beban dana masyarakat akan lebih tinggi.
"Premi risiko yang ditetapkan perbankan ini sulit dipahami. Ini menjadi tantangan dunia perbankan supaya risk premium ini bisa diterima lebih baik lagi," kata Dhani dalam diskusi di Jakarta, Rabu (13/3). Dengan kata lain, BI mendorong masing-masing perbankan untuk menghitung dengan benar level premi risikonya yang sesungguhnya. Sebab, tingginya premi risiko saat ini lebih didorong ketakutan bank yang terlalu besar atas risiko gagal bayar (default).
Kehati-hatian perbankan ini imbas buruknya adalah mereka tak bisa lagi melihat sektor yang seharusnya dibiayai dengan premi rendah dengan sektor yang dibiayai dengan premi tinggi. Suku bunga kredit akhirnya terbebani akibat premi risiko tersebut.
Oleh karenanya, kata Dhani, BI menerbitkan aturan suku bunga dasar kredit (SBDK) agar bank-bank transparan memberikan informasi suku bunganya kepada otoritas. Ini merupakan langkah pengawasan ketat kepada perbankan dari sisi efisiensi. Semestinya tercipta keseimbangan antara kepentingan regulator yang menginginkan SBDK rendah dan bisa dijangkau masyarakat, dengan tugas bank untuk tetap bisa memberikan return yang memadai kepada pemegang sahamnya.
Ekonom Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati, mengatakan tingginya suku bunga akibat dari pelannya perbankan menahan menurunkan bunga kreditnya. Padahal, BI sudah menurunkan acuan BI rate 5,75 persen. Ia mencontohkan Jepang, selama 10 tahun terakhir meski di tengah gejolak ekonomi negaranya yang krisis, masih tetap mempertahankan suku bunganya nol persen. "Profit perbankan di Indonesia luar biasa bagus, namun tak ada keberanian menurunkan suku bunga," katanya.
Kejanggalan berikutnya, kata Nina, adalah bank-bank justru menerakan premi risiko tinggi saat menyalurkan kredit ke segmen UMKM ketimbang menyalurkan kredit ke segmen korporasi. Suku bunga harian untuk sektor UMKM bahkan ada yang mencapai 10 persen. Ini sangat buruk karena UMKM yang kebanyakan adalah sektor usaha yang belum bankable justru membayar bunga jauh lebih mahal, sehingga UMKM ikut menjadi tidak efisien.
BI juga diminta menetapkan batas premi risiko yang boleh diterapkan perbankan. Misalnya, bank tak boleh menetapkan premi risiko yang lebih besar dari angka tertentu. Sebab, SBDK tak akan berfungsi selama premi risiko ini tidak diatur. Bank-bank BUMN sebagai leader juga perlu diatur agar bisa diikuti oleh bank-bank di bawahnya. Efisiensi membuat bank-bank BUMN bisa cukup mumpuni untuk bersaing karena notabene margin bunga bersih atau NIMnya rendah.