Senin 20 Mar 2023 13:49 WIB

Hadapi Impor Pakaian Bekas, Asosiasi Tekstil Bali Minta Bunga Kredit Murah

Bunga kredit yang kini 12 persen tentu masuk dalam biaya produksi industri tekstil.

Buruh memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik garmen (ilustrasi). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bali meminta keringanan, salah satunya tingkat suku bunga bank, agar dapat meningkatkan daya saing guna menghadapi impor pakaian bekas.
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Buruh memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik garmen (ilustrasi). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bali meminta keringanan, salah satunya tingkat suku bunga bank, agar dapat meningkatkan daya saing guna menghadapi impor pakaian bekas.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bali meminta keringanan, salah satunya tingkat suku bunga bank, agar dapat meningkatkan daya saing guna menghadapi impor pakaian bekas.

"Impor pakaian bekas ini mendisrupsi pasar lokal," kata Ketua API Bali Dolly Suthajaya, di Denpasar, Senin (20/3/2023).

Baca Juga

Ia mengharapkan, tingkat suku bunga bank untuk industri tekstil ditekan hingga enam persen dari bunga saat ini yang dinilai masih tinggi kisaran 11 tinggi-12 persen. Tingkat bunga bank, kata dia lagi, menjadi salah satu bagian yang membentuk Harga Pokok Produksi (HPP), selain biaya komponen bahan baku, tenaga kerja hingga operasional lain seperti listrik dan transportasi. Industri tekstil, kata dia, merupakan industri padat karya dengan memberdayakan banyak tenaga kerja, berorientasi ekspor dan mendorong kreativitas.

"Baju bekas penuh di pasaran dikhawatirkan menghentikan kreasi dan produksi, juga mematikan industri kreatif di Bali," ujar Dolly.

Di Bali tercatat ada 60 pelaku usaha tekstil yang tergabung dalam asosiasi, dan sebagian di antaranya berskala kecil. Pada sisi lain, kata dia lagi, pengusaha tekstil juga melaksanakan kewajiban membayar pajak termasuk membayar bea masuk untuk bahan baku pendukung tekstil dengan tarif yang tinggi, yakni sekitar 32 persen dari total nilai barang. Belum lagi biaya lain seperti sewa gudang hingga kewajiban untuk karantina.

Sedangkan, kata Dolly, impor pakaian bekas sesuai dengan namanya tidak memiliki nilai lagi dan tidak memberikan pemasukan kepada negara khususnya terkait pajak dan bea cukai ketika dibawa masuk ke Indonesia. "Ekonomi siluman itu tidak jelas pajak impornya, itu harus diberantas atau dikenakan pajak tinggi supaya semua berkontribusi pajak," kata Dolly.

Padahal, kata dia pula, di sejumlah negara tidak menerima impor pakaian bekas karena terkait kesehatan lingkungan. Sehingga, pelaku yang bergerak di sektor pakaian bekas, justru meraup untung meski menjual dengan harga murah atau jauh di bawah HPP.

Di sisi lain, persoalan daya saing juga membuat sebagian produk tekstil Tanah Air justru belum merajai sejumlah pusat perbelanjaan, karena harus bersaing dengan produk dari Vietnam, China, dan Bangladesh. "Mudah-mudahan nanti berhasil diberantas impor pakaian bekas, sehingga industri tekstil dan produk tekstil di Bali bangkit lagi dan semangat lagi berkreasi," katanya lagi.

Pemerintah melarang ekspor pakaian bekas yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang barang dilarang ekspor dan impor.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement