REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menolak kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan terhadap perizinan kapal di atas 1.000 gross ton (GT) yang diperbolehkan transhipment (alih muatan di tengah laut).
"Presiden dan DPR patut memerintahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo untuk segera melakukan revisi terhadap Permen Kelautan dan Perikanan No 30 Tahun 2012," kata Pembina KNTI M Riza Damanik di Jakarta, Rabu (13/3).
Riza mengungkapkan, pihaknya juga telah menyurati, baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Ketua DPR RI Marzukie Ali untuk menyatakan penolakan terhadap diperbolehkannya transhipment dalam Permen KP 30/2012.
Dalam surat tersebut, ujar dia, didasari semangat untuk memperbaiki strategi pembangunan perikanan yang dinilai masih gagal membawa keadilan dan kesejahteraan bagi nelayan Indonesia. "Bahkan telah bergeser dari prioritas agenda pemerintah Indonesia," ucapnya.
Ia memaparkan, secara substansi, Pasal 69 Permen KP 30/2012 telah memberi insentif khusus kepada kapal-kapal berbobot lebih dari 1.000 GT untuk menangkap ikan, memindahkan muatannya di tengah laut (transhipment), dan membawanya langsung ke luar negeri. Sedangkan dalam kenyataannya, ujar dia, Indonesia tidak memiliki kapal ikan berbobot lebih dari 1.000 GT.
"Maka kuat dugaan kebijakan dimaksudkan hanya untuk memberi izin eksploitasi ZEEI kepada kapal-kapal ikan asing," tuturnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan akan memudahkan beroperasinya usaha penangkapan ikan di laut lepas di seluruh perairan Indonesia. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, kemudahan itu antara lain diberikan dalam bentuk ikan hasil tangkapan di laut lepas dapat langsung didaratkan di pelabuhan luar negeri.
Namun, hal tersebut harus dilengkapi dengan ketentuan menyampaikan laporan kepada pelabuhan pangkalan di Indonesia dan menyampaikan bukti pendaratan ikan di luar negeri.
"Mereka juga dapat melakukan transhipment (pengalihan muatan kapal) dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan, baik di tengah laut maupun di pelabuhan negara lain yang menjadi anggota Regional Fisheries Management Organisation (RFMO) pada wilayah RFMO yang sama," katanya.