REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi (LMFE) Universitas Padjadjaran Bandung, Aldrin Herwany menilai asumsi pertumbuhan ekonomi sekitar 6,3-6,8 persen pada 2013 masih realistis, bahkan tidak tertutup kemungkinan mencapai 7,0 persen.
"Jika pemerintah berusaha keras mempercepat penyerapan APBN, bisa saja pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari target," kata Aldrin dihubungi di Jakarta, Senin (11/3).
Ia menyebutkan hambatan birokrasi dan ketidaksiapan kementerian dalam mengeksekusi anggaran merupakan penghambat penyerapan anggaran sealam ini yang pada akhirnya menyebabkan target pertumbuhan ekonomi 2012 tidak tercapai.
Menurut Deputy Director LMFE Universitas Padjajaran tersebut, Indonesia belakangan ini sudah fokus mengandalkan pasar domestik karena ekspor yang selama ini jadi andalan tidak lagi menjadi primadona. Karena itu kondisi perekonomian luar negeri (krisis US dan eropa) tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Aldrin mengatakan ketahanan ekonomi Indonesia ketika krisis global melanda dunia membuktikan kondisi internasional kurang berpengaruh kepada Indonesia. Tahun 2009 sampai 2012 merupakan bukti pendukung lainnya di mana Indonesia mampu tumbuh di atas 6,0 persen ketika negara lain dilanda krisis dan sulit untuk tumbuh.
"Pertumbuhan kawasan ASEAN juga berada di bawah Indonesia. Tingkat inflasi yang belakangan ini terlihat naik saya pikir hanya bersifat sementara dan beberapa bulan kedepan akan sesuai dengan harapan dari Bank Indonesia," ujar dia.
Karena itu, lanjutnya, Indonesia lebih baik fokus pada penguatan pasar domestik untuk menjadi andalan serta berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Analoginya mudah saja, negara lain berlomba lomba memanfaatkan pasar potensial di Indonesia, mereka saling berebutan untuk masuk ke Indonesia baik sebagai investor (beli bank di Indonesia) maupun sebagai tempat menjual produk yang mereka buat.
Namun ia mengingatkan hal yang perlu diwaspadai pemerintah tahun 2013 ini adalah justru dari stabilitas nilai tukar karena kecenderungan kenaikan yang signifikan dari arus dana asing yang masuk melalui pasar modal.
"Tidak mengherankan karena Indonesia masih menjadi idola bagi investor asing untuk menempatkan dananya dengan imbal hasil yang notabene masih tinggi," ujar dia.
Hal lain yang perlu diwaspadai, lanjutnya, adalah dampak kemungkinan kenaikan harga harga bahan bakar minyak (BBM) atau jika subsidi BBM dicabut.
"Sangat diharapkan pemerintah untuk lebih bijaksana dan hati-hati dalam mengambil kebijakan ini. Kebijakan yang tidak hati-hati justru akan berpotensi menaikkan tingkat inflasi yang pada akhirnya akan memaksa Bank Indonesia menaikkan BI rate," kata dia.
Ia mengungkapkan konsekuensi kenaikan BI rate tentu akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit bank. Jika hal ini terjadi tentu akan menggangu pertumbuhan kredit. Pertumbuhan kredit saat ini merupakan salah satu pilar yang berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebelumnya, Dewan Gubernur BI menilai perekonomian Indonesia pada triwulan I-2013 akan tumbuh sebesar 6,2 persen, didukung terutama oleh kuatnya permintaan domestik.
Menurut BI, konsumsi tumbuh cukup kuat sejalan dengan keyakinan konsumen dan daya beli masyarakat yang membaik. Sementara itu, berbagai indikator menunjukkan moderasi pertumbuhan investasi khususnya pada investasi nonbangunan di tengah investasi sektor bangunan yang masih cukup kuat.
Indikasi moderasi tersebut juga terlihat pada melandainya pertumbuhan impor, khususnya impor barang modal. Di sisi lain, kinerja ekspor ke berbagai negara mitra dagang utama, khususnya Cina, Amerika Serikat (AS) dan India, diperkirakan membaik.
Untuk keseluruhan tahun 2013, setelah memperhitungkan aktivitas ekonomi pada triwulan-triwulan selanjutnya, termasuk pengeluaran untuk persiapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan cenderung mengarah ke batas bawah kisaran 6,3-6,8 persen.