REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun ditekan pembatasan uang muka oleh regulator, saham sektor properti dinilai masih akan terus bertumbuh. Dampak dari loan to value (LTV) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk industri perbankan dinilai baru akan berdampak beberapa tahun ke depan.
Head of Equities UBS Securities Indonesia Joshua Tanja mengungkapkan saham properti merupakan satu dari beberapa saham yang tahun ini dinilai layak beli. Industri properti masih menjanjikan sehingga sahamnya masih akan menguat.
Dampak LTV yang dikeluarkan BI untuk perbankan konvensional pada Juni 2012 dinilai cukup memberikan pukulan bagi industri properti. Pun halnya baru-baru ini regulasi terkait LTV syariah. "Tapi dampaknya tidak terlihat sebesar di pembatasan uang muka kendaraan bermotor," ujar Joshua di Jakarta, Selasa (5/3).
Kenaikan harga properti bergantung pada kucuran dana dari perbankan, lanjut Joshua. Apabila bank masih berminat untuk memberikan dana pada industri properti, maka hal tersebut tidak akan berdampak pada kinerja industri tersebut. Untuk saat ini analis menilai industri properti masih memiliki potensi besar untuk bertumbuh. Selain masih mendapatkan dana segar dari perbankan, kebutuhan masyarakat akan properti yang semakin tinggi juga mempengaruhi pertumbuhan.
Namun Joshua mengakui akan ada masanya ketika saham properti mengalami pelemahan akibat aturan LTV. Masa itu tiba ketika harga properti jauh lebih tinggi dari pendapatan masyarakat sehingga properti sulit diperoleh.
Namun hal ini tidak bisa dihitung dalam satu atau dua tahun. Proses menuju ke sana membutuhkan waktu yang sangat lama dan bergantung pada kebijakan serta pendapatan masyarakat. "Pendapatan dan harga properti terus kejar-kejaran," kata Joshua.
Pada penutupan perdagangan Senin (4/3) saham sektor properti berkontribusi pada pelemahan IHSG, yaitu melemah 1,2 persen. Selain properti, saham tahun ini yang dinilai layak beli adalah saham infrastruktur terutama perusahaan baja dan semen. Saham konsumer juga layak investasi.