Ahad 17 Feb 2013 15:53 WIB

Yang 'Bolong' dari Aturan Pembatasan Restoran

Rep: Dwi Murdaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Restoran waralaba lokal.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Restoran waralaba lokal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengusaha minta aturan mengenai waralaba rumah makan dan rumah minum diperjelas. Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali) Amir Karamoy menilai ada beberapa hal yang masih bolong dalam aturan tersebut.

Amir mengatakan saat ini bersama asosiasinya berniat mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait beberapa pasal yang terkandung dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 07/M-DAG/PER/02-2013 tentang waralaba dan kemitraan rumah makan dan minum. Amir menyoroti poin mengenai kemitraan usaha. “Wali akan mengajukan judical review untuk beberapa hal,” ujarnya, Ahad (17/2).

Beleid yang diteken Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pada 11 Februari ini mengatur kemitraan restoran. Bagi outlet dengan nilai investasi kurang dari atau sama dengan Rp 10 miliar, penyertaan modal dari pihak lain atau mitra paling sedikit 40 persen. Sementara, untuk investasi lebih dari Rp 10 miliar, jumlah penyertaan modal dari mitra minimal 30 persen. Poin ini yang akan diajukan untuk dilakukan uji materi.

Amir khawatir jika penyertaan modal untuk mitra diizinkan hanya 30 atau 40 persen, mitra hanya akan menjadi penonton. Penguasaan penuh masih berada di tangan pemilik usaha.

Setidaknya, lanjut Amir, penyertaan modal dari mitra minimal 51 persen agar mitra bisa memiliki hak lebih banyak untuk mengelola outlet yang dimitrakan. Jika mitra memiliki modal yang terbatas, menurutnya mitra bisa bergabung dengan mitra lainnya, asal bisa mendapatkan hak yang lebih untuk mengelola usaha. “Kalau begitu UKM hanya menjadi mitra pasif, sama saja dengan UKM mensubsidi perkembangan outlet-outlet besar,” katanya.

Pemerintah juga memberi kelonggaran pembatasan outlet lebih dari 250 asal dibangun di daerah terpencil. Namun, kelonggaran ini tidak tertulis di dalam Permendag tersebut. Amir menilai kelonggaran ini tidak bisa diberikan begitu saja tanpa adanya aturan tertulis. “Harus ada di aturan baru yang tertulis,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement