REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank-bank yang beroperasi di Indonesia mulai memasuki era permasalahan krisis permodalan. Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) memproyeksikan krisis modal tersebut menjadi masalah utama yang harus diselesaikan. Bahkan, ini akan lebih dulu menjegal langkah bank-bank nasional sebelum memasuki pasar bebas ASEAN pada 2020 nanti.
"Sebelum 2020 saja, bank yang memunyai rencana permodalan yang baik akan langsung tersingkirkan dari pasar bebas ASEAN," kata Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, dijumpai Republika, di Jakarta, Selasa (29/1).
Dengan menggunakan asumsi rasio ekuitas, Perbanas memproyeksikan bank BUMN akan menghadapi krisis permodalan mulai 2015. Berikutnya bank swasta yang mengelola devisa akan krisis permodalan pada 2014. Bank campuran membutuhkan tambahan modal pada 2017.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) sudah harus menambah modalnya tahun ini. Bank asing, terutama, membutuhkan tambahan modal sejak 2012. Hingga 2015, kata Sigit, seluruh perbankan di Indonesia memerlukan dana untuk modal segar hingga Rp 113 triliun. Sementara, pasar modal nasional hanya mampu menyediakan sumber modal sekitar Rp 30 triliun.
"Kita harus memikirkan bersama darimana sumber kekurangan modal itu kita dapatkan," kata Sigit.
Perbanas mengusulkan kepada pemerintah dan regulator, dalam hal ini Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk serius membuat cetak biru perbankan. Sejak merdeka, Indonesia belum memilikinya, hanya pernah memunyai Arsitektur Perbankan Indonesia (API).