REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika kembali 'menuduh' Indonesia melakukan hal yang tidak adil dalam kegiatan perdagangan atau ekspor. Pengusaha AS yang tergabung dalam Coalition of Gulf Shrimp Industries (COGSI) atau aliansi pengusaha udang Amerika menuduh adanya subsidi pada komoditas udang ekspor asal Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C Sutadjo, mengatakan masih akan mencari tahu sebab tuduhan subdisi itu ditujukan ke Indonesia. Menurut dia, produk udang Indonesia tidak pernah dijual di bawah harga normal.
Tak hanya Indonesia, AS juga menuduh Cina, Ekuador, India, Malaysia, Thailand, dan Vietnam melakukan hal yang sama. Udang asal Indonesia jenis Vaname dijual pada kisaran 5.000 dolar per ton. "Saya katakan itu tidak ada subsisi, selama ini kita jual dengan harga normal," ujar Sharif, saat ditemui, Selasa (16/1).
Ia mengatakan, program-program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah sama sekali tidak mengarah ke subsidi. Pasalnya, program permberdayaan itu diberikan kepada nelayan kecil, bukan eksportir.
"Kita akan cari tahu apa yang dicatat oleh mereka (pengusaha Amerika). Saya belum tahu apa yang mereka anggap sebagai subsidi," tambahnya.
Kedutaan Indonesia di AS pada hari ini akan mengadakan pertemuan dengan COGSI untuk pembahasan tuduhan subsidi ini lebih lanjut. Ia mengatakan bantuan program revitalisasi dan bantuan budi daya perikanan darat maupun bantuan nelayan merupakan kewajiban negara yang mengusung pro-job dan pro-poor.
Produk udang yang dituduh mendapat subsidi dari Pemerintah Indonesia adalah jenis frozen warmwater shrimp dengan pos tarif (HS) 0306 dan 1605. Pada periode Januari-Oktober, nilai ekspor udang ke AS mencapai 421,3 juta dolar. Sementara pada 2011, ekspor udang tercatat 515,5 juta dolar, naik 45,74 persen dibandingkan 2010.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Perikanan Saut Hutagalung mengatakan Indonesia sudah terbiasa dengan tuduhan asal AS ini. Menurutnya, hal itu tidak begitu berpengaruh terhadap ekspor udang selanjutnya.
Sebelumnya, Uni Eropa (UE) juga pernah melarang ekspor produk perikanan budidaya masuk ke pasar benua itu. UE menuduh produk budidaya mengandung residu antibiotik, yaitu chloramphenicol, nitrofurans, dan tetracyclines. Namun, pelarangan ini resmi dicabut pada 6 November 2012 lalu.