Rabu 09 Jan 2013 11:43 WIB

Minyak Iran yang Terasa Pahit

Aktivitas pengeboran di ladan minyak Iran
Foto: REUTERS
Aktivitas pengeboran di ladan minyak Iran

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mutia Ramadhani

Embargo minyak terhadap Iran selama 40 tahun  justru membuat negara Syiah itu mereguk untung. Dengan adanya embargo, harga minyak dunia semakin melambung. Di satu sisi, negara dunia tetap tergantung kebutuhan konsumsi minyaknya pada Iran.

Namun kisah manis tentang minyak Iran kini nyaris sirna. Minyak Iran mulai terasa "pahit". Iran berangsur ditinggalkan oleh beberpa negara konsumennya.

Langganannya, khususnya Eropa dan Amerika, mencoba fokus pada pengembangan energi alternatif. Era gas pun memasuki masa keemasannya yang baru.

Pendapatan minyak Iran sembilan bulan terakhir menyusut hingga 45 persen menyusul sanksi Barat untuk Republik Islam itu. Tahun lalu, negara-negara Barat meningkatkan sanksi atas sektor energi Iran untuk menekan Teheran membatalkan program nuklirnya yang kontroversial.

“Volume ekspor minyak Iran turun 40 persen. Sedangkan, nilainya turun 45 persen,” kata Menteri Perminyakan Iran Rostam Qasemi, dikutip dari BBC, Selasa (8/1).

Meski anggota parlemen Iran mengakui penurunan ekspor minyak terbilang tajam, namun Qasemi bersikeras bahwa penurunan tak signifikan. Sebab, Iran akan terus berinvestasi besar-besaran untuk mempertahankan statusnya di Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Walau begitu, Iran tidak bisa mengelak dari kenyataan ekspor minyaknya yang menyusut hampir 50 persen. Biasanya, angka ekspor mencapai 2,4 juta barel per hari (bph).

Badan Energi Internasional (IEA) mendata, ekspor minyak mentah Iran jatuh dari 2,4 juta bph menjadi satu juta bph pada Juli 2012. Bahkan, angka ini turun dari produksi 1,74 bph pada Juli 2012.

Mulai 20 Maret 2013, Qasemi akan mendorong ekspor Iran, setidaknya meningkat menjadi 1,5 juta bph setahun ini.

Kepala Komite Anggaran Parlemen Iran Gholam Reza Kateb mengatakan, sanksi perbankan dan perdagangan Iran oleh PBB dan Negara Barat juga memberi kontribusi pada penurunan ekspor. Sanksi pada Iran sendiri tidak terlepas tudingan Barat soal pengembangan senjata nuklir Iran.

“Program nuklir kami ini adalah damai,” jelas Reza Kateb, dikutip dari Washington Post. Pengembangan nuklir di Iran adalah untuk menghasilkan listrik dan memproduksi radioisotop yang digunakan untuk pengobatan kanker sekitar satu juta unit pertahun.

Jika ditelisik lebih jauh, program nuklir memang berdampak positif untuk mengantisipasi beban listrik di Negara Mullah itu. Kebutuhan listrik Iran saat ini lebih besar dari ekspektasi awal pemerintah. Pertumbuhan konsumsi listrik Iran rata-rata enam hingga delapan persen pertahun dengan proyeksi populasi penduduk 100 juta jiwa pada 2025.

Jika itu terjadi, Iran tak mungkin hanya menyandarkan diri pada energi minyak dan gas semata. Karenanya tenaga nuklir dijadikan solusi.

Faktor lain yang menghambat kejayaan produksi minyak Iran adalah ladang minyak yang kian tua. Hal ini membuat Iran tak lagi mencapai level produksi optimalnya, 5,5 juta bph, seperti sebelum revolusi dulu.

Dari 60 ladang minyak utama milik Iran, 57 di antaranya butuh perbaikan produksi. Untuk itu, Iran setidaknya membutuhkan 40 miliar dolar AS selama 15 tahun.

Dengan level produksi minyak Iran saat ini yang rata-rata hanya 3,5 juta bph dan konsumsi domestik yang meroket 280 persen, diperkirakan tak lama lagi Iran akan menjadi negara pengimpor minyak!

Jika Iran saja mengimpor minyak, bagaimana nasib negara-negara yang masih bergantung minyak dari Iran, seperti Jepang? Bisa dipastikan yang terjadi adalah bencana ekonomi dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement