REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) membuka kembali opsi pembentukan perusahaan induk (holding company).
Ini memungkinkan strategic investor yang sudah menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank dapat menjadi pemegang saham pengendali pada bank lain.
Jadi, tak ada kewajiban bank melakukan merger atau konsolidasi di antara bank-bank yang dimilikinya, namun wajib membentuk holding.
Menghadapi hal ini, maka sejumlah pengamat perbankan menyarankan bank-bank BUMN membentuk holding company. Tujuannya, agar bisa mudah mengakuisisi bank-bank lain di Indonesia.
"Bank-bank BUMN sebaiknya membentuk holding, agar mereka bisa membeli bank-bank lain. Ini menjadi kesempatan mereka lebih agresif secara non organik," kata Ketua Umum Persatuan Bank-Bank Nasional (Perbanas), Sigit Pramono.
Dengan demikian, holding company bank BUMN bisa memiliki bank-bank kecil yang potensial, ketimbang kesempatan tersebut diambil oleh bank asing. Dulu, aksi korporasi ini menjadi hambatan bank BUMN karena belum ada aturan single presence policy (SPP) dari BI.
Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk, Zulkifli Zaini, masih belum bisa menanggapi usulan holding bank BUMN karena revisi aturannya baru keluar akhir pekan lalu. "Nantinya akan kami bicarakan terlebih dahulu dengan Kementerian BUMN," ujarnya.
Ekonom dari Center Indonesia for Economic Development and Studies (Cides), Umar Juoro, mengatakan aturan BI yang satu ini merupakan aturan paling positif di antara sembilan aturan baru BI lainnya.
"Ini cukup fair untuk bank lokal juga bank asing. Level playing field bank asing misalnya, dengan holding ini, mereka tetap tak dominan namun tetap bisa lebih berkembang di negara ini," katanya.