REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pakar ekonomi dari Indef, Enny Sri Hartati mempertanyakan alasan Bank Indonesia (BI)meminjamkan dana 1 miliar dolar AS atau setara Rp 9 triliun ke IMF. Hal itu dikarenakan saat ini Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan.
"Aneh saja langkah tersebut dilakukan BI di saat sempat terjadi defisit neraca perdagangan yang berpotensi mengakibatkan suplai dolar kita terus menurun. Karena kalau suplai dolar turun, akibatnya nilai tukar Rupiah bisa fluktuatif," kata Enny saat dihubungi di Jakarta, Jumat (7/9).
Menurut Enny, meskipun otoritas moneter menyatakan cadangan devisa cukup untuk hampir enam bulan impor, namun dengan langkah pinjaman terhadap IMF tersebut, justru akan mengurangi cadev BI.
"Kalau cadev itu dikurangi untuk bantuan kepada IMF artinya kebijakan BI akan menjadi tidak runut atau berada di luar rencana. Kecuali kalau kita sama sekali tidak memiliki risiko perekonomian," kata Enny.
Sebelumnya, Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan pinjaman itu diberikan BI kepada IMF, selain untuk menjaga hubungan baik, juga untuk membantu pendanaan IMF dalam menyelesaikan persoalan krisis global. Rencananya pinjaman itu diberikan dengan jalan BI membeli surat utang IMF senilai 1 miliar dolar AS.
Enny mengatakan uang senilai Rp 9 triliun tidak akan berarti apa-apa untuk menyelesaikan krisis global. Sebaliknya dana tersebut akan sangat berarti jika digunakan untuk kebutuhan cadangan devisa.
"Kita jangan hanya berpikir bahwa kondisi makro kita saat ini bagus, tetapi tetap harus mengantisipasi kebutuhan yang akan datang. Bantuan itu menurut saya bagaikan menggarami lautan, karena tidak akan ada artinya bagi pemulihan Eropa," kata Enny. Enny berharap BI bisa memikirkan kembali rencana tersebut dengan tetap mengacu kepada kepentingan nasional.