Rabu 15 Feb 2012 16:29 WIB

Kebijakan BBM dan TDL akan Pengaruhi Inflasi

Unjuk rasa menolak kenaikan BBM di Jakarta beberapa waktu lalu.
Foto: Antara/Andrie Indrayadi
Unjuk rasa menolak kenaikan BBM di Jakarta beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO - Kebijakan yang akan diambil pemerintah pusat terkait bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tarif dasar listrik (TDL), serta kenaikan tarif air PDAM Solo dari sebelumnya Rp2.050 menjadi Rp2.250 yang dibebankan pada tagihan Februari 2012 akan berpengaruh inflasi di kota ini.

Sekretaris Penggerak Tim Pengendalian Inflasi Daerah Kota Surakarta Doni P.Joewono mengatakan hal itu Rabu (15/2), berdasarkan hasil rapat tim tersebut Selasa (14/2) di Solo.

Ia mengatakan, terkait dengan rencana pembatasan BBM, kelompok pengusaha beras mengkhawatirkan dampaknya terhadap kenaikan biaya transportasi bahan makanan karena banyak pengusaha beras yang mempunyai angkutan barang sendiri dengan plat hitam.

Di sisi lain, upaya konversi penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) untuk menggantikan BBM sebagai bahan bakar kendaraan butuh waktu yang panjang dan perlu sosialisasi yang luas.

Karena selain alat konversinya yang mahal, masih banyak pihak yang menganggap bahwa penggunaan BBG merupakan hasil modifikasi kendaraan, bukan buatan original dari pabrik sehingga bisa mengurangi keawetan kendaraan.

"Dalam jangka pendek bila harus memilih diantara opsi pembatasan atau kenaikan harga BBM, dipilih kenaikan harga BBM dengan pertimbangan untuk mencegah adanya risiko penyalahgunaan BBM dan infrastruktur pendistribusian premium sudah meluas hingga ke pelosok negeri," kata Doni.

Ia mengatakan bahwa harga sebagian besar komoditas relatif stabil, khusus komoditas beras berada pada level stabil tinggi. Untuk komoditas beras, banyak pihak mengatakan produksinya surplus tapi harganya selalu naik.

Beberapa penyebab antara lain adanya aliran beras dari daerah produksi keluar daerah karena panen tidak merata, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah/beras yang baru belum diumumkan sehingga menimbulkan spekulasi bagi pedagang beras karena Bulog hanya mampu membeli gabah dengan harga Rp4.300 per kg dan beras dengan harga Rp6.500 per kg.

Selain itu kegagalan panen di beberapa daerah karena serangan hama dan cukup maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi fungsi lain sehingga mempengaruhi produksi.

Metode penghitungan surplus beras yang mencakup produksi, stok dan kebutuhan perlu ditinjau kembali. Sementara itu, pedagang beras mengharapkan segera diterbitkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah/beras. Inpres tersebut dibutuhkan pedagang sebagai acuan dalam bisnisnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement