REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat ekonomi, Ferry Wong mengemukakan, peringkat Indonesia yang berada pada tingkat layak investasi (investment grade) sebaiknya diiringi dengan pembangunan infrastruktur yang cepat.
"Pemerintah harus fokus pada infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri," kata Ferry yang juga sebagai Equity Research Citigroup Securities, dalam seminar Komunitas Pemerhati Pasar Modal (KPPM) di Jakarta, Kamis (9/2) malam.
Ia menambahkan, sebelum peringkat investasi Indonesia berada pada level 'investment grade', dana asing masuk (capital inflow) ke dalam negeri sudah cukup deras, dengan Indonesia mengantongi tempat layak investasi maka 'capital inflow' semakin besar.
Diharapkan, lanjut dia, dana yang masuk ke Indonesia dapat digunakan pemerintah untuk mendukung pembangunan infrastruktur, dengan infrastruktur dalam negeri yang tertata maka target pertumbuhan ekonomi dalam negeri akan dapat tercapai.
"Infrastruktur merupakan salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, saat ini kondisinya masih belum maksimal. Saya keluar tol Cikarang saja 60 menit, untuk pelaku bisnis tentu saja hal itu kurang baik," kata dia.
Selain itu, dikatakan Ferry, dengan peringkat investasi "investment grade", beberapa saham sektor saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) seperti perbankan akan kembali positif seperti pada 2011.
Apalagi, menurut dia, dengan turunnya suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen dari sebelumnya enam persen akan memicu perusahaan untuk menerbitkan obligasi.
"Dengan turunnya BI rate akan membuat 'yield' obligasi menjadi rendah. Obligasi merupakan sumber pendanaan hangka panjang," ucap dia.
Selain sektor perbankan, Ferry juga mengemukakan, beberapa sektor saham diantaranya yang bergerak di bidang konstruksi, properti, dan jalan tol diproyeksikan positif tahun ini.
Pada kesempatan yang sama terkait krisis yang tengah bergejolak di pasar global, Head of Research Bank Danamon, Anton Gunawan mengemukakan, pasar keuangan dalam negeri diperkirakan tetap terkena imbas krisis Eropa pada tahun ini meski tidak signifikan.
"Pasar obligasi, saham, dan valas (valuta asing) akan bergerak 'volatile' (mudah berubah) seiring krisis yang masih berlangsung di Eropa," ujar dia.